Tanda-tanda Kehancuran Masyarakat Barat

Tulisan oleh : Dr. Daud Rasyid, MA

Firman Allah Azza wajalla:

ومن أعرض عن ذكري فإن له معيشة ضنكا ونحشره يوم القيامة أعمى

“Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingatKu, maka sungguh baginya kehidupan yang sempit dan Kami bangkitkan dia pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha 124)

Siapa saja yang mengamati kehidupan masyarakat Barat, apalagi mereka yang tinggal lama di sana dan tidak larut dalam kehidupan Barat, akan mengetahui bahwa masyarakat tersebut sedang mengalami krisis kemanusiaan yang berkepanjangan.

Mereka tengah berjalan menuju arah keruntuhan dan kehilangan fondasi kemanusiaan. Itu disebabkan karena mereka tenggelam dalam arus materialisme sebagai Tuhan baru di dunia Barat. Nilai-nilai Robbani tercabut dari hati manusia yang tidak hidup di atas hidayah. Mereka akhirnya hidup dalam kegelapan yang mencekam. Berjalan sebisanya, kadang membentur ke kanan dan ke kiri. Persis seperti manusia mabuk dan sempoyongan.

Berikut ini beberapa fenomena kehancuran kehidupan masyarakat Barat yang penting dicermati:

Anjing sahabat setia

Sudah menjadi kultur masyarakat Barat, akrab dengan hewan yang namanya anjing. Berbagai jenis anjing mereka pelihara sesuai dengan selera masing-masing. Sepintas lalu, orang terkagum-kagum pada masyarakat Barat dalam soal yang satu ini. Mereka menilai bahwa ini merupakan kemajuan masyarakat Barat yang sayang kepada hewan.

Sesungguhnya, penilaian seperti ini muncul karena tidak menelusuri jalan hidup mereka dengan dunia yang serba gemerlap dengan materialisme. Keterikatan mereka pada anjing sudah sedemikian rupa sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa 'No life without dog' (tak ada kehidupan tanpa anjing). Padahal untuk memelihara anjing di sana, memerlukan biaya yang tak sedikit. Daging yang dikonsumsi anjing mereka lebih mahal dari daging yang dimakan manusia.

Jika kita amati lebih mendalam, kita akan dapati bahwa keakraban mereka dengan anjing adalah salah satu malapetaka kemanusiaan yang dialami insan Eropa, dimana mereka sudah tak percaya lagi bersahabat dengan manusia. Bahkan tidak percaya pada anak sendiri.

Mereka merasa lebih percaya kepada anjing daripada manusia. Mereka lebih mau memelihara anjing dan hidup bersama anjing daripada hidup serumah dengan anak atau suami. Jadi memelihara anjing adalah pelarian alias frustrasi pada manusia.

Kenapa? Karena dari pengalaman hidupnya, mereka merasakan hidup bersama dengan manusia, hanya menimbulkan banyak persoalan yang tidak sederhana, baik dengan pasangan hidup maupun anak keturunan sendiri. Yang didapat bukan ketenangan, justru kesengsaraan. Inilah krisis kemanusiaan di Barat.

Berapa banyak orang-orang berusia tua tinggal bersama anjingnya di rumah. Anjing itu betul-betul menjadi teman hidup. Bahkan dibawa tidur bersama. Ini karena kultur di Barat, anak-anak yang sudah besar tidak mau tinggal bersama orang tuanya. Orangtua tinggal sendiri di rumahnya. Anak-anaknya tinggal terpisah dengan keluarganya sendiri, di luar kota atau dalam satu kota.

Penulis sering sekali menjumpai nenek (kira-kira di atas 70 tahun) yang berjalan naik kereta sendirian berkunjung ke rumah anaknya yang tinggal di kota lain. Akibat kesepian seperti ini, orang yang sudah berusia lanjut merasa sedih dan kesepian tinggal sendirian.

Secara materi, orang-orang tua yang sudah tidak bekerja lagi memang mendapatkan santunan (benefit) dari negara yang cukup untuk keperluan hidupnya. Tetapi, ada aspek lain dari hidupnya yang tak terpenuhi, yaitu kejiwaan dan ruhiyahnya.

Sesungguhnya, batin mereka berontak. Hati mereka merindukan hidup dengan anak dan cucunya. Namun itu tak mungkin terjadi dalam kultur mereka. Inilah yang menyebabkan pelarian kerinduan kepada binatang seperti anjing.

Kenapa harus anjing? Itu juga pertanyaan menarik. Karena hewan ini memang memiliki unsur kesetiakawanan yang baik dengan tuannya. Jadi, si nenek tadi mencurahkan kasih sayangnya kepada anjing, karena ia tidak dapat mencurahkannya kepada manusia, sekalipun itu anak atau cucunya sendiri.

Ada yang lebih parah dari itu, anak menitipkan orangtuanya di Panti jompo, bersama orang-orang tua lanjut usia lainnya. Panti ini dibayar dan di sana ada pegawai yang bekerja melayani dan menjaga mereka. Kalau di antara mereka ada yang mau ke toilet, ada yang menuntun. Kalau mau mandi, ada yang memandikan. Kalau ingin sesuatu, ada yang melayaninya. Tetapi apakah dengan begini, batin mereka terpuaskan? Tidak. Jelas tidak.

Program di Panti itu, ialah senam dan musik yang sesungguhnya bukan membantu menenangkan jiwa, tetapi justru menambah keruh pikiran mereka. Apa yang mereka butuhkan, tidak sesuai dengan apa yang mereka dapatkan. Kadang pikiran kita bertanya-tanya, kenapa begitu teganya seorang anak menitipkan orangtuanya di Panti jompo? Apakah ia tidak merasa bahwa orang tua seperti itu membutuhkan kasih sayang anak?

Sekedar kelakar, tapi ini bisa juga merupakan hakikat sebenarnya, bahwa dulu waktu si ibu masih muda, ia punya anak atau bayi yang masih kecil. Ia titipkan buah hati dan kesayangannya ke penitipan anak. Saat anak masih bayi sedang merindukan kasih sayang ibu, tetapi karena tuntutan dunia dan mengejar materi, sang ibu tega meninggalkan anaknya di penitipan.

Apa yang terjadi setelah waktu berlalu puluhan tahun? Maka pada saat si ibu sudah tua renta, giliran ia dititipkan oleh anaknya di Panti Jompo. Jadi impas (seri), bukan? Na'zu billah min zalik. Sesuatu yang harusnya tidak boleh terjadi, jika manusia berada di atas jalan Hidayah.

Rasul Saw pernah bersabda :

من لا يرحم لا يرحم

Barangsiapa yang tidak mengasihani, ia tidak dikasihani.

Dan sabda Beliau Saw:

ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء

“Sayangilah orang yang ada di bumi, niscaya kamu disayangi oleh yang ada di langit”.

Membalas kasih orang tua

Firman Allah Subhanah wata’ala:

وقضى ربك ألا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا إما يبلغن عندك الكبر أحدهما أو كلاهما فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما وقل لهما قولا كريما.

“Dan Robbmu telah menetapkan agar kamu tidak menyembah kecuali hanya Dia, dan kepada dua orangtuamu berbuat baiklah. Jika salah seorang dari mereka sudah lanjut usia atau kedua-duanya, maka janganlah engkau katakan padanya ‘Ah’, dan jangan bersuara keras kepada mereka, dan ucapkanlah perkataan yang mulia.” (Al-Isra’:23)

Berbeda total dengan pandangan hidup Barat, Islam menanamkan rasa kasih sayang kepada anak sejak ia masih kecil. Ibu mencurahkan kasih sayangnya kepada bayinya, dengan menyusui, mengurus dan membesarkan. Waktu si Ibu memang dihabiskan untuk mengurus anaknya. Bahkan penderitaan sudah dirasakan ibu sejak janin dalam kandungan.

Firman Allah Swt.

حملته أمه وهنا على وهن وفصاله في عامين.

(ia dikandung oleh ibunya dalam penderitaan demi penderitaan, dan memisahnya dalam usia dua tahun).

Ketika si ibu sudah tua, maka anaknya yang sudah dewasa gantian ingin membalas jasa si ibu. Giliran Ibunya diurus oleh si anak. Ibu tinggal menumpang di rumah anaknya, hidup bersama cucu-cucunya. Ketawa dan gembira bersama mereka.

Bila sakit, ia dirawat oleh anaknya. Ketika terasa jenuh di rumah anak yang satu, ia pindah ke anak yang lain. Ia diperlakukan sama oleh anak dan cucunya yang lain. Ia disambut, dilayani dan diurus oleh anak dan cucunya.

Mereka bersama-sama menghambakan dirinya kepada Allah Swt. Betapa indahnya hidup di bawah naungan ajaran Islam. Andaikan orang di luar Islam mengetahuinya, niscaya mereka akan cemburu pada ajaran mulia ini.

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk mulia, seharusnya menjadi sahabat dan teman untuk menjalankan hidup sesama komunitas manusia, saling membantu, menolong, saling bertukar pikiran, bahkan saling menunjang untuk mencapai tujuan hidup mengabdi kepada Allah Robbul alamin.

Manusia seharusnya mencari temannya sesama manusia, bukan saling menjauhi.

Di masyarakat barat, anjing diperlakukan seperti manusia, layaknya teman, diajak bicara, diperintah, dititipi pesan, dan seterusnya. Mereka mengasuhnya seperti mengasuh anak, dimandikan, dikasih makanan. Bahkan, daging yang dimakan anjing, tidak sembarangan. Ada standar khusus, harganya lebih mahal dari harga daging biasa yang dikonsumsi manusia.

Anjing harus dibawa berjalan keluar rumah sampai 3 kali sehari. Jika tidak, ia mengalami stress. Anjing dimandikan, dibawa tidur, mendampingi tuannya terus menerus, hingga dibawa piknik, naik mobil, kereta, dan tiketnya dibelikan khusus, dihitung sebagai penumpang.

Ini semua merupakan fenomena kehancuran kemanusiaan di Barat. Manusia tidak percaya lagi kepada anaknya, dia lebih suka membesarkan dan merawat anjing dari merawat anaknya. Ini juga merupakan bukti bahwa manusia membutuhkan makhluk yang hidup bersama dengannya. Ketika makhluk itu tidak didapatkan dari jenis manusia, anjing pun tak mengapa sebagai penggantinya. La hawla wala quwwata illa billah.

Gereja kosong

Fenomena lain yang tak kalah mengherankan di barat ialah kosongnya tempat ibadah (gereja). Gereja hanya dikunjungi untuk tiga acara, pertama kelahiran anak, kedua ketika seseorang menikah, dan yang terakhir, ketika ada yang meninggal. Selain itu mereka tidak lagi datang ke gereja.

Gereja mirip museum, tempat peninggalan benda-benda tua bersejarah. Yang datang ke gereja, jikapun ada, hanyalah kakek-kakek dan nenek-nenek tua bertongkat dan jalan terpapah-papah.

Ini menunjukkan insan barat sudah meninggalkan agamanya secara massal. Jika kalangan mudanya ditanya, “What is your religion?” (apakah agama Anda?). Mereka menjawab : 'football’ (bola kaki).

Mereka meninggalkan gereja, karena agamanya dirasakan tidak memberi kepuasan bagi hidup mereka dan tidak lagi mereka butuhkan. Hal itu seiring dengan arus materialisme yang semakin deras di barat, arus hedonisme yang makin kencang.

Manusia disibukkan dengan kegiatan mengejar uang dan memburu materi untuk kesenangan hidup atau untuk memenuhi kebutuhan hidup. Semakin banyak tuntutan hidup yang dibutuhkan, semakin menuntut kerja keras untuk membayar kebutuhan itu. Mulai dari sewa rumah yang sangat tinggi, misalnya di London, kawasan pinggiran saja besarnya sewa rumah sekitar £1000 sebulan.

Begitu pun dengan kebutuhan transport, makanan, pakaian, perhiasan, pendidikan, piknik, dst, menyebabkan manusia harus habis-habisan berjuang mendapatkan pembayar kebutuhan hidup itu.

Lain lagi kesenangan syahwat dan hawa nafsu yang semakin menyebabkan mereka meninggalkan agamanya. Karena mahalnya living cost di negara-negara barat, sehingga mendorong mereka untuk hidup dengan pasangannya tanpa ikatan pernikahan.

Menurut mereka, nikah mememunculkan tuntutan-tuntutan dan kewajiban. Sementara, mereka tidak ingin diikat dengan kewajiban, namun hawa nafsunya terlampiaskan dengan lawan jenis yang berpandangan serupa. Akhirnya mereka menemukan pasangan hidup yang sejalan dengan pola pikirnya, lalu merekapun hidup serumah tanpa ikatan pernikahan. Saling memuaskan dan tidak saling memberatkan.

Kekeluargaan yang rapuh

Sungguh memilukan, ikatan kekeluargaan di barat sangat rapuh. Perceraian gampang terjadi. Salah satu yang mendorong mereka untuk hidup kumpul kebo, adalah rapuhnya kehidupan berumah tangga. Jika terjadi perselisihan di antara satu pasangan lelaki dan perempuan, maka mereka dengan mudah saja bubar. Lelaki pergi ke utara dan perempuannya ke selatan. Tinggal angkat koper saja.

Adapun jika mereka menikah secara resmi dengan perjanjian yang disahkan oleh negara, maka ketika terjadi perpecahan, harta yang mereka cari akan dibagi dua, seperti rumah, kendaraan dan lain sebagainya. Urusannya juga tak gampang, berhubungan dengan pengadilan dan seterusnya.

Bahkan mereka yang resmi menikahpun, sering melakukan perjanjian tertulis, tentang jumlah anak yang disepakati. Bahkan, ada juga yang sama-sama berjanji untuk tidak punya anak. Jadi secara umum, kultur masyarakat barat masa sekarang ini cenderung tidak menginginkan anak. Kalaupun mau, sangat mereka batasi, cukup satu atau maksimal dua.

Pikiran mereka ini didasarkan pada ideologi pragmatis dan individualis. Dengan punya anak, seseorang akan merasa direpotkan. Mulai anak itu dalam kandungan, ketika lahir, kemudian membesarkannya, menyekolahkannya, sampai anak tersebut beranjak dewasa.

Mereka menganggap kehidupan seperti itu sungguh merepotkan. Sementara mereka tidak mau repot. Merasa enjoy hidup sendiri. Memasak untuk sendiri, bekerja untuk dinikmati sendiri, lapar tanggung sendiri. Kalaupun mereka punya pasangan, pasangan itupun memiliki visi serupa juga.

Demikianlah mereka hidup. Bandingkan dengan Islam yang memandang pernikahan sebagai sarana meraih ketenangan, damai dan kemesraan. Firman Allah Swt:

ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون.

“Di antara tanda-tanda kebesaranNya, Ia menjadikan untuk kamu dari dirimu pasangan agar kamu mendapatkan ketenangan darinya. Dan Ia menjadikan di antara kamu kasih sayang dan belas kasihan. Sesunggunya dalam demikian itu terdapat ayat bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Ruum: 21)

Lalu pada masa yang akan datang, akan tiba waktunya kepunahan populasi orang Eropa. Sebab mereka yang hidup sekarang, tidak diteruskan oleh generasi penggantinya. Alhamdulillah, alladzi hadana ilal Islaam. (Segala puji bagi Allah yang menunjuki kita hidup di dalam Islam).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Historia Vitae Magistra. Design by Templateezy