Jakarta, Kompas - Sumber-sumber sejarah mengenai keberadaan bangsa Portugal selama sekitar 300 tahun (abad 16-18) di Indonesia sangat terbatas sehingga menyulitkan masyarakat yang ingin mempelajarinya. Sumber sejarah primer yang ada kini sudah hancur karena dimakan rayap atau memang tidak dipelihara. Kalaupun ada, tinggal sumber sejarah sekunder yang cenderung bias karena penyusunnya punya kepentingan politik.
"Untuk mendapat data sejarah yang bisa dipercaya, satu-satunya jalan adalah pergi ke Lisabon," kata pengamat sejarah Adolf Heuken SJ dalam seminar "Hubungan Kerja Sama Budaya antara Portugal dan Indonesia" yang diadakan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta dengan Institute Carnoes Portugal, Instituto Portugues do Oriente Macau, dan Yayasan Calouste Gulbenkian Portugal di Jakarta, Selasa (29/7).
Sebagai pembicara, hadir antara lain Prof Dr Antonio de Vasconcelas Saldanha (Instituto Portugues do Oriente), Mario Pinharanda Nunes (Instituto Camoes), Dr Inyo Fernandez (Universitas Gadjah Mada), Prof Dr Leirissa (Universitas Indonesia), Dr Kortlang (Belanda), serta Dr Alice Viola dan Dr Andreia Valente (Portugal).
Sebelumnya, Duta Besar Portugal untuk Indonesia Jose Manuel Santos Braga dan Rektor Unika Atma Jaya Jakarta Harimurti Kridalaksana meresmikan Pusat Bahasa dan Kebudayaan Portugis di Atma Jaya.
Hanya ada sedikit
Berdasarkan pengalaman Heuken ketika menyusun buku sumber-sumber sejarah Jakarta sampai 1596, Perpustakaan Nasional Jakarta memang memiliki beberapa buku karangan sejarawan Portugis, tetapi tidak lengkap. Sumber sahih terpaksa dicarinya di Torre do Tombo dan Biblioteca National de Lisboa.
Menurut Heuken yang sudah membuat sepuluh buku tentang Jakarta, sejarah Portugis di Indonesia perlu ditelusuri. "Dari situ bisa diketahui peta politik waktu itu dan kerajaan di pesisir secara obyektif. Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang ke Indonesia," ujarnya.
Menurut ahli linguistik Inyo Fernandez, kehadiran Portugis ke Nusantara terutama di Flores, Ambon, Solor, Ternate, Tidore, dan Jakarta dapat dilihat dari banyaknya serapan kata-kata bahasa Portugis yang diambil oleh masyarakat Manado, Larantuka (Flores), dan Ambon. (TRI)