Plis Dong, Akh!

Penulis : Nova Ayu Maulita



“Assalamu’alaikum, Ukhti!” suara melengking itu spontan membuatku mendongak. Tommy terlihat sumringah saat melihatku.

“Apa kabar nih? Lama nggak ketemu. Jadi kangen!”

Mulutku tercekat. Hari gini dia bilang kangen sama aku? Ugh. Rasanya aku ingin tenggelam ditelan bumi. Masalahnya saat itu aku tidak sendirian. Aku sedang bersama adik mentoringku. Masalahnya lagi, baru lima menit yang lalu aku mengisi mentoring tentang manajemen hati dan sikap. Nah, kalau sekarang aku disapa Tommy seperti itu kan jadi rumit. Bisa-bisa dikira aku punya skandal dengan ikhwan yang satu ini.

“Iya, liburan kemana aja, Ukh? Cerita-cerita dong!” Tommy masih nyerocos tanpa merasa bersalah sama sekali. Sementara itu aku senin-kamis menahan malu sambil menghindari tatapan adik-adik mentorku yang sesekali tersenyum nakal dan berdehem-dehem. Mungkin saat itu mukaku sudah berubah menjadi traffic light, merah kuning hijau. Tapi dia tetap saja cuek dan pasang innocent face.

Tommy adalah teman sekelas SD-ku. Enam tahun sekelas dengan nomor absen berurutan membuat kami lumayan akrab. Sering ngobrol, sering kerja kelompok, sering merancang ide-ide konyol, tapi sering bertengkar juga. Pokoknya dulu bisa dikatakan kami berteman baik deh. Waktu lulus SD, dia pindah ke luar kota. Tidak pernah ada kabar sampai tiba-tiba dia sudah satu jurusan, bahkan sekelas denganku di universitas. Tapi tentu saja semua sudah berubah. Paling tidak sekarang aku sedikit-sedikit juga tahu adab bergaul dengan lawan jenis.

Tapi, entahlah bagaimana dengan Tommy. Dia memang terbuka, suka bergaul, bercanda, dan ngobrol dengan siapa saja. Sepertinya sekarang dia juga sudah cukup paham. Sekarang kami sama-sama bergabung di rohis fakultas. Tommy sering juga ikut kajian umum di fakultas, sering terlihat kumpul bareng ikhwan-ikhwan mushala, sering ikut dalam kepanitiaan SKI, dan juga cukup sering menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan pengetahuan Islamnya cukup terakreditasi. Tapi untuk masalah ’centilnya’ ini, ah entahlah… .

”Kok diem terus sih, Van! Ngomong dong! Ngomong…!” Disuruh ngomong aku malah semakin kikuk. Apa lagi kalau mengingat nada suaranya yang mirip-mirip iklan operator telepon selular yang beberapa waktu lalu sempat populer, ”Ngomong dong, sayang..!” Weeit…!

”Iya, ya, liburanku biasa-biasa aja kok. Pulang cuma seminggu, belum hilang kangennya sama orang rumah. Kemari… nggak jadi deh!” aku nyaris saja keterusan bicara. Tadinya aku mau cerita kalau kemarin aku ketemu sama Dela, teman kami dalam hal gila-gilaan waktu di SD dulu. Wah, kalau tadi aku cerita, pasti obrolan nostalgia SD akan jadi panjang.

”Kemarin kenapa? Cerita dong… aku jadi penasaran nih.”

”Nggak usah, nggak penting kok! Anggap aja tadi aku nggak ngomong apa-apa”

”Uh… dari dulu kamu nggak berubah. Bikin orang penasaran.”

Aku cuma ngiyem mendengarnya.

”Eh, Van, Van. Kamu liat akhwat itu nggak?” Kali ini Tommy mengalihkan pembicaraan. Matanya mengarah pada seorang akhwat yang berbaju abu-abu di seberang. ”Emangnya kenapa?” Aku terpancing ingin tahu.

”Itu tuh, bajunya kok nggak match ya. Liat tuh, bajunya abu-abu, bawahannya hijau, jilbabnya item, eh… tasnya merah. Bagusan kan kalau roknya item dan tasnya apa gitu kek, yang penting jangan merah. Trus kaos kakinya itu lho, kok kuning. Aduh…!” Tommy sok-sok memberikan penilaian bak seorang desainer sambil memukul-mukulkan telapak tangan ke jidatnya. ”Payah ah, penampilannya! Kalau kamu hari ini sudah cukup match kok, Van. Bagus, bagus!” Tommy memandangi sekilas setelan biru yang kupakai.

Aku sudah tidak tahan mendengar komentar-komentarnya tadi. Siapa yang butuh komentar darinya? Kalau saja kami masih jadi anak SD, sudah kutonjok dia dari tadi. Hiiihhh!

”Plis dong, Akh! Penting nggak sih buat kamu? Kasian lagi kalau beliaunya denger kamu ngomongin dia kaya gitu. Bisa kehilangan pede. Lagian harusnya kan antum jaga pandangan dong!” jawabku ketus disertai tampang bete. Khusus kalau sedang bicara dengan Tommy kata-kataku jadi campur aduk, tergantung mood. Kadang pakai istilah akhi, antum, afwan, atau istilah-istilah Arab lain. Tapi kadang juga keluar aku, kamu, kasian deh lu, dan bahasa-bahasa gaul lainnya yang dulu biasa kami pakai.

”Emang nggak boleh ya komentar kaya gitu? Kalau aku malah seneng kalo ada yang ngeritik. Ah, wanita memang susah dimengerti.”

Aku menahan diri untuk tidak berkomentar sambil mengepal-kepalkan telapak tanganku di samping baju. Rasanya darahku sudah mendidih sampai ke otak. Melawan kata-katanya hanya akan memicu perdebatan yang sulit diramalkan endingnya.

”Eh, udah deh, aku pergi dulu ya.”

Tiba-tiba rongga dadaku terasa lega mendengar kalimat terakhirnya itu. Lega.

”Tapi Ukh, sebelumnya tolong liatin muka saya ada tip-exnya nggak?”

Saking gembiranya, aku langsung menuruti persyaratan untuk membuatnya menghilang dari hadapanku. Aku mendongak menatap wajah yang ditumbuhi sehelai jenggot itu. ”Nggak ada, kok,” jawabku.

”Makasih ya, Ukh! Tapi bukannya kita nggak boleh memandang wajah lawan jenis? Sudah ya, wassalamu’alaikum…!”

Tinggal aku yang bengong dan gondok habis. Ugh… kena deh! Awas ya!

***

“Assalamu’alaikum…” Sosok Tommy sudah muncul di depan kostku. Aku celingukan mencari teman yang mungkin dibawanya serta. Nihil.

“Waalaikum salam warah-matullah.. sendirian aja, Tom? Nggak bawa temen?” aku jadi kikuk. Serba salah. Setahuku kalau ada dua orang laki-laki dan perempuan maka ketiganya ada setan. Hiyy. Di sini ada setan dong!

Tommy sudah empat kali berkunjung ke kostku. Aku juga sudah selalu berpesan kalau dia harus mengajak seorang teman biar kami nggak ngobrol berdua. Tapi sampai sekarang dia masih suka nekat datang sendirian. Dan aku juga belum bisa mengusirnya dengan tegas. Nggak tega.

”Afwan, tadi cuma mampir karena habis beli jus dekat sini. Udah bikin tugas analisis konflik dan perdamaian, Ukh?”

”Udah, baru aja selesai.” Aku berusaha menghemat kata-kataku.

”Aku bingung nih, masalahnya gimana sih? Bisa minta tolong dijelasin nggak?”

Pertanyaannya bikin aku garuk-garuk kepala. Memaksaku untuk menjawab panjang lebar. ”Bisa nggak kalo nanya di kampus aja?”

”Tapi aku kan mau ngerjain nanti malem. Besok kita juga nggak ketemu di kampus. Padahal lusa harus dikumpulin.” Suaranya bernada kecewa.

”Emang nggak bisa nanya ke yang lain?!”

”Eh, kok ketus banget sih, Van! Aku kan udah bilang, mampir kesini karena kebetulan habis beli jus di samping kostmu, trus inget kalau ada tugas yang aku nggak ngerti. Jadi sekalian nanya. Malu bertanya sesat di jalan. Kita kan nggak boleh menyembunyikan ilmu yang kita miliki. Ya udah kalau nggak boleh.”

Tiba-tiba hatiku meluluh. Kena jebakan kata-katanya. ”Emang mau nanya apa sih?”

Tommy nyengir. ”Nah, gitu dong!”

Akhirnya terjadilah diskusi kecil kami selama hampir setengah jam.

”Makasih banyak, Vanti! Entar namamu kucantumin di daftar pustaka deh.” Tommy berusaha melucu.

Tapi bagiku yang sudah bete banget jadi tidak lucu sama sekali. Plis dong, Akh!

”Pulang dulu ya. Sampai jumpa. Mimpi indah ya! Bu bye..”

Gleg. ”Kok sampai jumpa sih? Pake bubye pula.”

”Eh, iya, afwan. Assalamu’alaikum…”

”Alaikum salam warahmatullah.”

***

Sepertinya belakangan ini Tommy menjadi sebuah masalah bagiku. Dan entah kenapa banyak kebetulan-kebetulan yang menyebabkan aku harus bersama dengannya. Misalnya pernah waktu jalan tiba-tiba kebetulan dia juga sedang jalan kaki dan tanpa sungkan-sungkan langsung mengajak ngobrol. Waktu beli makan di kantin juga ketemu. Tiga kali ketemu di toko buku. Ke perpustakaan juga ketemu. Di luar kebetulan-kebetulan itu, Tommy juga sering sekali mengirim sms, menelepon, dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tidak penting. Suka curi-curi pandang, suka memujiku, dan hal-hal lain yang menurutku sangat menjengkelkan. Rasanya aku ingin beberapa hari cuti jadi orang yang mengenalnya, biar kalau ketemu lagi aku tidak perlu merasa begitu bosan seperti sekarang.

”Jangan-jangan kalian jodoh” Aku hampir tersedak waktu Ika tiba-tiba mengucapkan hal itu. Memecahkan keasyikanku menikmati makan siang di kantin Yu Jum.

”Uhuk… uhuk… hari gini ngomongin jodoh?!” aku buru-buru minum karena tenggorokanku tercekat.

”Emangnya nggak boleh? Kuliah sudah semester lima, umur sudah kepala dua. Kalau memang jodoh kan bisa segera…” Ika cengar-cengir melihatku.

”Astaghfirullah, ngapain sih ngomong kaya gitu, Ka? Jodoh itu rahasia Allah, dengan siapa dan kapan itu rahasia Allah. Nggak usah dipikirin pun toh kalau sudah tiba waktunya akan datang sendiri. Nggak bisa diundur dan nggak bisa dipercepat.”

”Iya, tapi kan kalau memang sudah siap maka makruh hukumnya menunda-nunda pernikahan.” Kali ini Ika mengedip-ngedipkan matanya centil. Membuatku serasa semakin ingin menghilang.

”Yee, siapa yang bilang sudah siap nikah?”

”Lho, kamu belum tahu ya? Tommy kan mau nikah muda! Jadi… jangan-jangan dia sudah punya calon. Siapa tahu…! Inget lho, kalau sudah ketemu jodoh dan mampu, maka makruh hukumnya menunda pernikahan.” Ika kembali bersemangat sekali membuatku jengkel.

”Udah ah… kamu bikin aku kehilangan nafsu makan aja, Ka! Kalau kamu berminat, bungkus deh buat kamu!” Ika hanya terkekeh mendengarnya.

***

Entah kenapa tanpa kusadari, obrolan dengan Ika itu menghantui pikiranku. ”Iya, jangan-jangan, jangan-jangan… oh tidak! Paling hanya aku yang ke-geer-an.

New sms! Handphoneku tiba-tiba mengoceh sendiri.

Ups, dari Tommy!

Vanti yang baik, tolong ya siapin surat izin pinjam tempat buat syura besok. Plizz, you are my only hope =)

Ih, apa-apaan sih ini kok minta tolong saja merayunya sampai maut begini. Nggak menghargai banget, masa ngomong sama akhwat masih tetap gombal-gambel kaya gini sih. Tiba-tiba pikiranku kembali melayang pada perkataan Ika siang tadi. Jangan-jangan…. Kadang sikapnya memang suka aneh sih, suka ngajak ngobrol lama-lama, suka memuji, suka sok kebetulan mampir dengan alasan beli jus. Padahal di dekat kostnya pasti juga ada yang jual jus, ngapain juga jauh-jauh beli jus sampai ke sini. SMS yang model begitu juga bukan barang baru lagi. Ihh.

***

”Hati-hati lho, Van!”

”Kenapa?” alis mataku terangkat refleks.

”Hati-hati lah… sama ikhwan kaya gitu!” tukas Evi, tetangga kamarku.

”Tahu nggak, kemarin Tommy ke sini lagi lho…”

”O ya?” kini mataku yang terbelalak.

”Hati-hati sama hatimu sendiri. Kan kamu sendiri yang bilang apa tuh… witing tresna jalaran suka kulina. Nah, kalau kamu tiba-tiba jadi suka sama dia gara-gara dia sering ke sini gimana?” Evi menatapku serius.

”Apalagi kalian sudah kenal sejak kecil kan?” pertanyaannya semakin menusukku.

”So what gitu lho…”

”Ya silakan ditafsirkan sendiri… aku cuma mengingatkan, setan itu cerdik bin lihai lho…”

Aku manggut-manggut.

”Harus bisa tegas!” tambah Evi lagi.

”Tegas? Maksudnya, kalau dia dateng lagi aku harus apa? Kalau dia sms nggak usah dibales gitu?”

”Iyalah… kalau dia dateng tuh, nggak usah dibukain pintu! Kalau sms nggak usah dibales. Kalau becanda nggak usah diladeni, pokoknya bersikaplah dingin!”

”O… gitu ya?”

***

Ternyata saran Evi cukup jitu. Tommy tidak lagi menjadi masalah bagiku dalam tiga minggu terakhir. Senangnya….

”New sms!”

Kuraih handphoneku.

Tommy!

Ass. Van, tidak saya kira, anti juga bisa bersikap tegas dan cool. Cocok dengan kriteria saya. Jadi, kapan anti siap menikah?

Pliss dong, Akh!

Tiba-tiba mataku memanas. Aku tidak sanggup bernapas lagi.

***

Diambil dari Majalah Annida, No. 2/XVI/15 Oktober – 15 Nopember 2006.

Simak cerita-cerita menarik lainnya di Majalah Annida “Cerdas, Gaul & Syar’i”.

Indonesia

Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Karena letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006,[4] Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik, dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden yang dipilih langsung. Ibukota negara ialah Jakarta. Indonesia berbatasan dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara tetangga lainnya adalah Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India.

Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa lainnya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra. Setelah sekitar 350 tahun penjajahan Belanda, Indonesia menyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat tantangan dari bencana alam, korupsi, separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat.

Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Suku Jawa adalah grup etnis terbesar dan secara politis paling dominan. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka tunggal ika" ("Berbeda-beda tetapi tetap satu"), berarti keberagaman yang membentuk negara. Selain memiliki populasi besar dan wilayah yang padat, Indonesia memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia.
Etimologi

Lihat pula: Sejarah nama Indonesia

Kata "Indonesia" berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu Indus yang berarti "Hindia" dan kata dalam bahasa Yunani nesos yang berarti "pulau".[5] Jadi, kata Indonesia berarti wilayah Hindia kepulauan, atau kepulauan yang berada di Hindia, yang menunjukkan bahwa nama ini terbentuk jauh sebelum Indonesia menjadi negara berdaulat.[6] Pada tahun 1850, George Earl, seorang etnolog berkebangsaan Inggris, awalnya mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia untuk penduduk "Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu".[7] Murid dari Earl, James Richardson Logan, menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India.[8] Namun, penulisan akademik Belanda di media Hindia Belanda tidak menggunakan kata Indonesia, tetapi istilah Kepulauan Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indië), atau Hindia (Indië); Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan tahun 1860 dalam novel Max Havelaar (1859), ditulis oleh Multatuli, mengenai kritik terhadap kolonialisme Belanda).[9]

Sejak tahun 1900, nama Indonesia menjadi lebih umum pada lingkungan akademik di luar Belanda, dan golongan nasionalis Indonesia menggunakannya untuk ekspresi politik.[10] Adolf Bastian dari Universitas Berlin mempopulerkan nama ini melalui buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894. Pelajar Indonesia pertama yang menggunakannya ialah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), yaitu ketika ia mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch Pers Bureau di tahun 1913.[6]
Sejarah

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Indonesia

Lihat pula: Sejarah Nusantara

Peninggalan fosil-fosil Homo erectus, yang oleh antropolog juga dijuluki "Manusia Jawa", menimbulkan dugaaan bahwa kepulauan Indonesia telah mulai berpenghuni pada antara dua juta sampai 500.000 tahun yang lalu.[11] Bangsa Austronesia, yang membentuk mayoritas penduduk pada saat ini, bermigrasi ke Asia Tenggara dari Taiwan. Mereka tiba di sekitar 2000 SM, dan menyebabkan bangsa Melanesia yang telah ada lebih dahulu di sana terdesak ke wilayah-wilayah yang jauh di timur kepulauan.[12] Kondisi tempat yang ideal bagi pertanian, dan penguasaan atas cara bercocok tanam padi setidaknya sejak abad ke-8 SM,[13] menyebabkan banyak perkampungan, kota, dan kerajaan-kerajaan kecil tumbuh berkembang dengan baik pada abad pertama masehi. Selain itu, Indonesia yang terletak di jalur perdagangan laut internasional dan antar pulau, telah menjadi jalur pelayaran antara India dan China selama beberapa abad.[14] Sejarah Indonesia selanjutnya mengalami banyak sekali pengaruh dari kegiatan perdagangan tersebut.[15]

Di bawah pengaruh agama Hindu dan Buddha, beberapa kerajaan terbentuk di pulau Kalimantan, Sumatra, dan Jawa sejak abad ke-4 hingga abad ke-14. Kutai, merupakan kerajaan tertua di Nusantara yang berdiri pada abad ke-4 di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Di wilayah barat pulau Jawa, pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M berdiri kerajaan Tarumanegara. Pemerintahan Tarumanagara dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda dari tahun 669 M sampai 1579 M. Pada abad ke-7 muncul kerajaan Melayu yang berpusat di Minanga Tamwan, Sumatera. Sriwijaya mengalahkan Melayu dan muncul sebagai kerajaan maritim yang paling perkasa di Nusantara. Wilayah kekuasaannya meliputi Sumatera, Jawa, semenanjung Melayu, sekaligus mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut China Selatan.[16] Dibawah pengaruh Sriwijaya, antara abad ke-8 dan ke-10 wangsa-wangsa Syailendra dan Sanjaya berhasil mengembangkan kerajaan-kerajaan berbasis agrikultur di Jawa, dengan peninggalan bersejarahnya seperti candi Borobudur dan candi Prambanan. Di akhir abad ke-13, Majapahit berdiri di bagian timur pulau Jawa. Di bawah pimpinan mahapatih Gajah Mada, kekuasaannya meluas sampai hampir meliputi wilayah Indonesia kini; dan sering disebut "Zaman Keemasan" dalam sejarah Indonesia.[17]

Kedatangan pedagang-pedagang Arab dan Persia melalui Gujarat, India, kemudian membawa agama Islam. Selain itu pelaut-pelaut Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (Zheng He) yang beragama Islam, juga pernah menyinggahi wilayah ini pada awal abad ke-15.[18] Para pedagang-pedagang ini juga menyebarkan agama Islam di beberapa wilayah Nusantara. Samudera Pasai yang berdiri pada tahun 1267, merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia.

Ketika orang-orang Eropa datang pada awal abad ke-16, mereka menemukan beberapa kerajaan yang dengan mudah dapat mereka kuasai demi mendominasi perdagangan rempah-rempah. Portugis pertama kali mendarat di dua pelabuhan Kerajaan Sunda yaitu Banten dan Sunda Kelapa, tapi dapat diusir dan bergerak ke arah timur dan menguasai Maluku. Pada abad ke-17, Belanda muncul sebagai yang terkuat di antara negara-negara Eropa lainnya, mengalahkan Britania Raya dan Portugal (kecuali untuk koloni mereka, Timor Portugis). Pada masa itulah agama Kristen masuk ke Indonesia sebagai salah satu misi imperialisme lama yang dikenal sebagai 3G, yaitu Gold, Glory, and Gospel.[19] Belanda menguasai Indonesia sebagai koloni hingga Perang Dunia II, awalnya melalui VOC, dan kemudian langsung oleh pemerintah Belanda sejak awal abad ke-19.
Johannes van den Bosch, pencetus Cultuurstelsel

Di bawah sistem Cultuurstelsel (Sistem Penanaman) pada abad ke-19, perkebunan besar dan penanaman paksa dilaksanakan di Jawa, akhirnya menghasilkan keuntungan bagi Belanda yang tidak dapat dihasilkan VOC. Pada masa pemerintahan kolonial yang lebih bebas setelah 1870, sistem ini dihapus. Setelah 1901 pihak Belanda memperkenalkan Kebijakan Beretika,[20] yang termasuk reformasi politik yang terbatas dan investasi yang lebih besar di Hindia-Belanda.

Pada masa Perang Dunia II, sewaktu Belanda dijajah oleh Jerman, Jepang menguasai Indonesia. Setelah mendapatkan Indonesia pada tahun 1942, Jepang melihat bahwa para pejuang Indonesia merupakan rekan perdagangan yang kooperatif dan bersedia mengerahkan prajurit bila diperlukan. Soekarno, Mohammad Hatta, KH. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara diberikan penghargaan oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943.

Pada Maret 1945 Jepang membentuk sebuah komite untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah perang Pasifik berakhir pada tahun 1945, di bawah tekanan organisasi pemuda, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan, tiga pendiri bangsa yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir masing-masing menjabat sebagai presiden, wakil presiden, dan perdana menteri. Dalam usaha untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan pasukan mereka.

Usaha-usaha berdarah untuk meredam pergerakan kemerdekaan ini kemudian dikenal sebagai 'aksi polisi' (Politionele Actie).[21] Belanda akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949 sebagai negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat setelah mendapat tekanan yang kuat dari kalangan internasional, terutamanya Amerika Serikat. Mosi Integral Natsir pada tanggal 17 Agustus 1950, menyerukan kembalinya negara kesatuan Indonesia dan membubarkan Republik Indonesia Serikat. Soekarno kembali menjadi presiden RI dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden dan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintahan Soekarno mulai mengikuti gerakan non-blok pada awalnya dan kemudian dengan blok sosialis, misalnya Republik Rakyat Cina dan Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi militer terhadap negara tetangga, Malaysia ("Konfrontasi"),[22] dan ketidakpuasan terhadap kesulitan ekonomi yang semakin besar. Selanjutnya pada tahun 1965 meletus kejadian G30S yang menyebabkan kematian 6 orang jenderal dan sejumlah perwira menengah lainnya. Muncul kekuatan baru yang menyebut dirinya Orde Baru yang segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang kejadian ini dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah serta mengganti ideologi nasional berdasarkan paham sosialis-komunis. Tuduhan ini sekaligus dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan lama di bawah Presiden Soekarno.
Sjahrir, Soekarno, Hatta; tiga pendiri Republik Indonesia

Jenderal Soeharto menjadi presiden pada tahun 1967 dengan alasan untuk mengamankan negara dari ancaman komunisme. Sementara itu kondisi fisik Soekarno kini sendiri makin melemah. Setelah Soeharto berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh, sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri, tidak berani kembali ke tanah air, dan akhirnya dicabut kewarganegaraannya. 32 tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara masa pemerintahan Soekarno disebut Orde Lama.

Soeharto menerapkan ekonomi neoliberal dan berhasil mendatangkan investasi luar negeri yang besar untuk masuk ke Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak merata, di Indonesia. Pada awal rezim Orde Baru kebijakan ekomomi Indonesia disusun oleh sekelompok ekonom-ekonom lulusan departemen ekonomi Universitas California, Berkeley, yang dipanggil "Mafia Berkeley".[23] Namun, Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi negara yang memburuk pada tahun 1998.

Dari 1998 hingga 2001, Indonesia mempunyai tiga presiden: Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Pada tahun 2004 pemilu satu hari terbesar di dunia[24] diadakan dan dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono.

Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah sedang berusaha untuk mendapatkan kemerdekaan, yaitu Aceh dan Papua. Timor Timur akhirnya resmi memisahkan diri pada tahun 2002 setelah 24 tahun bersatu dengan Indonesia dan 3 tahun di bawah administrasi PBB menjadi negara Timor Leste.

Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat Gempa bumi Samudra Hindia 2004 dan Gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam pantai Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak kunjung terpecahkan.
Politik dan pemerintahan

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Politik Indonesia

Gedung MPR-DPR.
Istana Negara, bagian dari Istana Kepresidenan Jakarta.

Indonesia menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya masing-masing.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga tertinggi negara. Namun setelah amandemen ke-4 MPR bukanlah lembaga tertinggi lagi. Keanggotaan MPR berubah setelah Amandemen UUD 1945 pada periode 1999-2004. Seluruh anggota MPR adalah anggota DPR, ditambah dengan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah).[25] Anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu dan dilantik dalam masa jabatan lima tahun. Sejak 2004, MPR adalah sebuah parlemen bikameral, setelah terciptanya DPD sebagai kamar kedua. Sebelumnya, anggota MPR adalah seluruh anggota DPR ditambah utusan golongan. MPR saat ini diketuai oleh Hidayat Nur Wahid. Anggota MPR saat terdiri dari 550 anggota DPR dan 128 anggota DPD. DPR saat ini diketuai oleh Agung Laksono, sedangkan DPD saat ini diketuai oleh Ginandjar Kartasasmita.

Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensial sehingga para menteri bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen. Meskipun demikian, Presiden saat ini yakni Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung oleh Partai Demokrat juga menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Namun pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh Menteri tanpa portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya).

Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan.
Pembagian administratif

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar provinsi Indonesia

Indonesia provinces blank map.svg
Aceh
Sumatera
Utara
Sumatera
Barat
Riau
Kep.
Riau
Kep. Bangka
Belitung
Jambi
Sumatera
Selatan
Bengkulu
Lampung
Banten
DKI Jakarta
Jawa
Barat
Jawa
Tengah
DI Yogyakarta
Jawa
Timur
Bali
Nusa Tenggara
Barat
Nusa Tenggara
Timur
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Timur
Kalimantan
Selatan
Sulawesi
Utara
Maluku
Utara
Sulawesi
Tengah
Gorontalo
Sulawesi
Barat
Sulawesi
Selatan
Sulawesi
Tenggara
Maluku
Papua
Barat
Papua

Indonesia saat ini terdiri dalam 33 provinsi, lima di antaranya daerah istimewa. Tiap provinsi memiliki badan legislatur dan gubernur. Provinsi dibagi menjadi kabupaten dan kota, yang dibagi lagi menjadi kecamatan dan lagi menjadi kelurahan dan desa.

Provinsi Aceh, DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta, Papua, dan Papua Barat memiliki hak istimewa legislatur yang lebih besar dan tingkat otonomi yang lebih tinggi dari pemerintahan pusat daripada provinsi lainnya. Contohnya, pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam memiliki hak untuk membentuk sistem legal sendiri; pada tahun 2003, Aceh mula menetapkan hukum Syariah.[26] Yogyakarta mendapatkan status Daerah Khusus sebagai pengakuan terhadap peran penting Yogyakarta dalam mendukung Indonesia selama Revolusi Indonesia.[27] Provinsi Papua, sebelumnya disebut Irian Jaya, mendapat status otonomi khusus tahun 2001.[28] Jakarta adalah daerah khusus ibukota negara. Timor Portugis digabungkan ke dalam wilayah Indonesia dan menjadi provinsi Timor Timur pada 1979–1999, yang kemudian memisahkan diri melalui referendum menjadi Negara Timor Leste.[29]

Provinsi di Indonesia dan ibukotanya

Sumatra

* Aceh - Banda Aceh
* Sumatra Utara - Medan
* Sumatra Barat - Padang
* Riau - Pekanbaru
* Kepulauan Riau - Tanjung Pinang
* Jambi - Jambi
* Sumatra Selatan - Palembang
* Kepulauan Bangka Belitung - Pangkal Pinang
* Bengkulu - Bengkulu
* Lampung - Bandar Lampung

Jawa

* Daerah Khusus Ibukota Jakarta - Jakarta
* Banten - Serang
* Jawa Barat - Bandung
* Jawa Tengah - Semarang
* Daerah Istimewa Yogyakarta - Yogyakarta
* Jawa Timur - Surabaya

Kepulauan Sunda Kecil

* Bali - Denpasar
* Nusa Tenggara Barat - Mataram
* Nusa Tenggara Timur - Kupang



Kalimantan

* Kalimantan Barat - Pontianak
* Kalimantan Tengah - Palangkaraya
* Kalimantan Selatan - Banjarmasin
* Kalimantan Timur - Samarinda

Sulawesi

* Sulawesi Utara - Manado
* Gorontalo - Gorontalo
* Sulawesi Tengah - Palu
* Sulawesi Barat - Mamuju
* Sulawesi Selatan - Makassar
* Sulawesi Tenggara - Kendari

Maluku

* Maluku - Ambon
* Maluku Utara - Ternate

Papua

* Papua Barat - Manokwari
* Papua - Jayapura

Geografi

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Geografi Indonesia

Lihat pula: Peta Asia dan Jumlah pulau di Indonesia
Peta Indonesia

Indonesia memiliki 17.504 pulau besar dan kecil, sekitar 6000 di antaranya tidak berpenghuni[30], yang menyebar disekitar khatulistiwa, yang memberikan cuaca tropis. Posisi Indonesia terletak pada koordinat 6°LU - 11°08'LS dan dari 95°'BB - 141°45'BT serta terletak di antara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia/Oseania.

Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km². Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana setengah populasi Indonesia hidup. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa dengan luas 132.107 km², Sumatera dengan luas 473.606 km², Kalimantan dengan luas 539.460 km², Sulawesi dengan luas 189.216 km², dan Papua dengan luas 421.981 km². Batas wilayah Indonesia searah penjuru mata angin, yaitu:
Utara Negara Malaysia, Singapura, Filipina, dan Laut Cina Selatan
Selatan Negara Australia, Timor Leste, dan Samudra Indonesia
Barat Samudra Indonesia
Timur Negara Papua Nugini, Timor Leste, dan Samudra Pasifik

Lokasi Indonesia juga terletak di lempeng tektonik, yang berarti Indonesia rawan terkena gempa bumi dan dapat menimbulkan tsunami.[31] Indonesia juga banyak memiliki gunung berapi[32], salah satu yang sangat terkenal adalah gunung Krakatau, terletak di selat Sunda antara pulau Sumatra dan Jawa.
Ekonomi

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ekonomi Indonesia

Monumen Nasional.
Protes melawan IMF, organisasi yang terlibat dalam proses pemulihan ekonomi Indonesia, di Jakarta.

Sistem ekonomi Indonesia awalnya didukung dengan diluncurkannya Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) yang menjadi mata uang pertama Republik Indonesia, yang selanjutnya berganti menjadi Rupiah.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun juga memadukannya dengan nasionalisme ekonomi. Pemerintah yang belum berpengalaman, masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi masyarakat banyak. Hal tersebut, ditambah pula kemelut politik, mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada ekonomi negara.[33]

Pemerintahaan Orde Baru segera menerapkan disiplin ekonomi yang bertujuan menekan inflasi, menstabilkan mata uang, penjadualan ulang hutang luar negeri, dan berusaha menarik bantuan dan investasi asing.[33] Pada era tahun 1970-an harga minyak bumi yang meningkat menyebabkan melonjaknya nilai ekspor, dan memicu tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi sebesar 7% antara tahun 1968 sampai 1981.[33] Reformasi ekonomi lebih lanjut menjelang akhir tahun 1980-an, antara lain berupa deregulasi sektor keuangan dan pelemahan nilai rupiah yang terkendali,[33] selanjutnya mengalirkan investasi asing ke Indonesia khususnya pada industri-industri berorientasi ekspor pada antara tahun 1989 sampai 1997[34] Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran pada akhir tahun 1990-an akibat krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Asia pada saat itu,[35] yang disertai pula berakhirnya masa Orde Baru dengan pengunduran diri Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998.

Saat ini ekonomi Indonesia telah cukup stabil. Pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2004 dan 2005 melebihi 5% dan diperkirakan akan terus berlanjut.[36] Namun demikian, dampak pertumbuhan itu belum cukup besar dalam mempengaruhi tingkat pengangguran, yaitu sebesar 9,75%.[37][38] Perkiraan tahun 2006, sebanyak 17,8% masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan, dan terdapat 49,0% masyarakat yang hidup dengan penghasilan kurang dari AS$2 per hari.[39]

Indonesia mempunyai sumber daya alam yang besar di luar Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini ia telah mulai menjadi pengimpor bersih minyak mentah. Hasil pertanian yang utama termasuk beras, teh, kopi, rempah-rempah, dan karet.[40] Sektor jasa adalah penyumbang terbesar PDB, yang mencapai 45,3% untuk PDB 2005. Sedangkan sektor industri menyumbang 40,7%, dan sektor pertanian menyumbang 14,0%.[41] Meskipun demikian, sektor pertanian mempekerjakan lebih banyak orang daripada sektor-sektor lainnya, yaitu 44,3% dari 95 juta orang tenaga kerja. Sektor jasa mempekerjakan 36,9%, dan sisanya sektor industri sebesar 18,8%.[42]

Rekan perdagangan terbesar Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara jirannya yaitu Malaysia, Singapura dan Australia.

Meski kaya akan sumber daya alam dan manusia, Indonesia masih menghadapi masalah besar dalam bidang kemiskinan yang sebagian besar disebabkan oleh korupsi yang merajalela dalam pemerintahan. Lembaga Transparency International menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke-143 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi, yang dikeluarkannya pada tahun 2007.[43]

Bank sentral Indonesia yaitu Bank Indonesia.
Peringkat internasional
Organisasi Nama Survey Peringkat
Heritage Foundation/The Wall Street Journal Indeks Kebebasan Ekonomi 110 dari 157[44]
The Economist Indeks Kualitas Hidup 71 dari 111[45]
Reporters Without Borders Indeks Kebebasan Pers 103 dari 168[46]
Transparency International Indeks Persepsi Korupsi 143 dari 179[47]
United Nations Development Programme Indeks Pembangunan Manusia 108 dari 177[48]
Forum Ekonomi Dunia Laporan Daya Saing Global 51 dari 122[49]
Demografi

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Demografi Indonesia

Menurut sensus penduduk 2000, Indonesia memiliki populasi sekitar 206 juta,[50] dan diperkirakan pada tahun 2006 berpenduduk 222 juta.[4] 130 juta (lebih dari 50%) tinggal di Pulau Jawa yang merupakan pulau berpenduduk terbanyak sekaligus pulau dimana ibukota Jakarta berada.[51] Sebagian besar (95%) penduduk Indonesia adalah bangsa Melayu,[52] dan terdapat juga kelompok-kelompok suku Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia terutama di Indonesia bagian Timur. Banyak penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal daerah, misalnya Jawa, Sunda atau Batak.

Selain itu juga ada penduduk pendatang yang jumlahnya minoritas diantaranya adalah etnis Tionghoa, India, dan Arab. Mereka sudah lama datang ke nusantara dengan jalur perdagangan sejak abad ke 8 SM dan menetap menjadi bagian dari Nusantara. Di Indonesia terdapat sekitar 4 juta populasi etnis Tionghoa.[52] Angka ini berbeda-beda karena hanya pada tahun 1930-an terakhir kalinya pemerintah melakukan sensus dengan menggolong-golongkan masyarakat Indonesia ke dalam suku bangsa dan keturunannya.

Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 85,2% penduduk Indonesia, yang menjadikan Indonesia negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia.[40] Sisanya beragama Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%), dan lain-lain (0,3%). Selain agama-agama tersebut, pemerintah Indonesia juga secara resmi mengakui Konghucu.[53]

Kebanyakan penduduk Indonesia bertutur dalam bahasa daerah sebagai bahasa ibu, namun bahasa resmi Indonesia, bahasa Indonesia, diajarkan di seluruh sekolah-sekolah di negara ini dan dikuasai oleh hampir seluruh penduduk Indonesia.
l • d • s
Kota-kota besar di Indonesia
Kota Provinsi Populasi Kota Provinsi Populasi
1 Jakarta DKI Jakarta 8.839.247 Indonesia
Indonesia 7 Semarang Jawa Tengah 1.352.869
2 Surabaya Jawa Timur 2.611.506 8 Depok Jawa Barat 1.339.263
3 Bandung Jawa Barat 2.288.570 9 Palembang Sumatra Selatan 1.323.169
4 Medan Sumatra Utara 2.029.797 10 Tangerang Selatan Banten 1.241.441
5 Bekasi Jawa Barat 1.940.308 11 Makassar Sulawesi Selatan 1.168.258
6 Tangerang Banten 1.451.595 12 Bogor Jawa Barat 891.467
Sumber: [1]
Budaya

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Budaya Indonesia

Lukisan Candi Prambanan yang berasal dari masa pemerintahan Raffles.
Wayang kulit warisan budaya Jawa.

Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis, tiap etnis memiliki budaya yang berkembang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, dan Eropa, termasuklah kebudayaan sendiri yaitu Melayu. Contohnya tarian Jawa dan Bali tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana dan Baratayuda. Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatera seperti tari Ratéb Meuseukat dan tari Seudati dari Aceh.

Seni pantun, gurindam, dan sebagainya dari pelbagai daerah seperti pantun Melayu, dan pantun-pantun lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu perhelatan, pentas seni, dan lain-lain.

Di bidang busana warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri batik meliputi Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Pandeglang, Garut, Tasikmalaya dan juga Pekalongan. Kerajinan batik ini pun diklaim oleh Malaysia dengan industri batiknya.[54] Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya dapat dikenali dari ciri-cirinya yang dikenakan di setiap daerah antara lain baju kurung dengan songketnya dari Sumatera Barat (Minangkabau), kain ulos dari Sumatra Utara (Batak), busana kebaya, busana khas Dayak di Kalimantan, baju bodo dari Sulawesi Selatan, busana berkoteka dari Papua dan sebagainya.

Pengaruh yang paling dominan dalam arsitektur Indonesia adalah arsitektur India; namun terdapat pula pengaruh dari arsitektur Tiongkok, Arab, dan Eropa.

Olahraga yang paling populer di Indonesia adalah bulu tangkis/badminton dan sepak bola; Liga Super Indonesia adalah liga klub sepak bola utama di Indonesia. Olahraga tradisional termasuk sepak takraw dan karapan sapi di Madura. Di wilayah dengan sejarah perang antar suku, kontes pertarungan diadakan, seperti caci di Flores, dan pasola di Sumba. Pencak silat adalah seni bela diri yang unik yang berasal dari wilayah Indonesia. Seni bela diri ini kadang-kadang ditampilkan pada acara-acara pertunjukkan yang biasanya diikuti dengan musik tradisional Indonesia berupa gamelan dan seni musik tradisional lainnya sesuai dengan daerah asalnya. Olahraga di Indonesia biasanya berorientasi pada pria dan olahraga spektator sering berhubungan dengan judi yang ilegal di Indonesia.[55] Seni musik di Indonesia, baik tradisional maupun modern sangat banyak terbentang dari Sabang hingga Merauke.

Setiap provinsi di Indonesia memiliki musik tradisional dengan ciri khasnya tersendiri. Musik tradisional termasuk juga keroncong yang berasal dari keturunan Portugis di daerah Tugu, Jakarta,[56] yang dikenal oleh semua rakyat Indonesia bahkan hingga ke mancanegara. Ada juga musik yang merakyat di Indonesia yang dikenal dengan nama dangdut yang dipengaruhi oleh musik Arab, India, dan Melayu.

Alat musik tradisional yang merupakan alat musik khas Indonesia memiliki banyak ragam dari pelbagai daerah di Indonesia, namun banyak pula dari alat musik tradisional Indonesia 'dicuri' oleh negara lain[57] untuk kepentingan penambahan budaya dan seni musiknya sendiri dengan mematenkan hak cipta seni budaya dari Indonesia. Alat musik tradisional Indonesia antara lain meliputi:

* Angklung
* Bende
* Calung
* Dermenan
* Gamelan
* Gandang Tabuik
* Gendang Bali



* Gendang Karo
* Gendang Melayu
* Gong Kemada
* Gong Lambus
* Jidor
* Kecapi Suling
* Kendang Jawa



* Kenong
* Kulintang
* Rebab
* Rebana
* Saluang
* Saron
* Sasando



* Serunai
* Seurune Kale
* Suling Lembang
* Suling Sunda
* Talempong
* Tanggetong
* Tifa, dan sebagainya

Beberapa makanan Indonesia: soto ayam, sate kerang, telor pindang, perkedel dan es teh manis.

Masakan Indonesia bervariasi bergantung pada wilayahnya.[58] Nasi adalah makanan pokok dan dihidangkan dengan lauk daging dan sayur. Bumbu (terutama cabai), santan, ikan dan ayam adalah bahan yang penting.[59] Popularitas industri film Indonesia memuncak pada tahun 1980-an dan mendominasi bioskop di Indonesia,[60] meskipun kepopulerannya berkurang pada awal tahun 1990-an.[61] Antara tahun 2000 hingga 2005, jumlah film Indonesia yang dirilis setiap tahun meningkat.[60]

Bukti tulisan tertua di Indonesia adalah berbagai prasasti berbahasa Sanskerta pada abad ke-5 Masehi. Figur penting dalam sastra modern Indonesia termasuk: pengarang Belanda Multatuli yang mengkritik perlakuan Belanda terhadap Indonesia selama zaman penjajahan Belanda; Muhammad Yamin dan Hamka yang merupakan penulis dan politikus pra-kemerdekaan;[62] dan Pramoedya Ananta Toer, pembuat novel Indonesia yang paling terkenal.[63] Banyak orang Indonesia memiliki tradisi lisan yang kuat, yang membantu mendefinisikan dan memelihara identitas budaya mereka.[64] Kebebasan pers di Indonesia meningkat setelah berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto. Stasiun televisi termasuk sepuluh stasiun televisi swasta nasional, dan jaringan daerah yang bersaing dengan stasiun televisi negeri TVRI. Stasiun radio swasta menyiarkan berita mereka dan program penyiaran asing. Dilaporkan terdapat 20 juta pengguna internet di Indonesia pada tahun 2007.[65] Penggunaan internet terbatas pada minoritas populasi, diperkirakan sekitar 8.5%.
Ekologi di Indonesia

Wilayah Indonesia memiliki keanekaragaman makhluk hidup yang tinggi sehingga oleh beberapa pihak wilayah ekologi Indonesia disebut dengan istilah "Mega biodiversity" atau "keanekaragaman mahluk hidup yang tinggi"[66][67] umumnya dikenal sebagai Indomalaya atau Malesia bedasarkan penelitian bahwa 10 persen tumbuhan, 12 persen mamalia, 16 persen reptil, 17 persen burung, 25 persen ikan yang ada di dunia hidup di Indonesia, padahal luas Indonesia hanya 1,3 % dari luas Bumi. Kekayaan makhluk hidup Indonesia ranking ke-3 setelah Brasil dan Zaire. [68]

Bila Aku Jatuh Cinta

Allahu Rabbi aku minta izin
Bila suatu saat aku jatuh cinta
Jangan biarkan cinta untuk-Mu berkurang
Hingga membuat lalai akan adanya Engkau

Allahu Rabbi
Aku punya pinta
Bila suatu saat aku jatuh cinta
Penuhilah hatiku dengan bilangan cinta-Mu yang tak terbatas
Biar rasaku pada-Mu tetap utuh

Allahu Rabbi
Izinkanlah bila suatu saat aku jatuh cinta
Pilihkan untukku seseorang yang hatinya penuh dengan
kasih-Mu
dan membuatku semakin mengagumi-Mu

Allahu Rabbi
Bila suatu saat aku jatuh hati
Pertemukanlah kami
Berilah kami kesempatan untuk lebih mendekati cinta-Mu

Allahu Rabbi
Pintaku terakhir adalah seandainya kujatuh hati
Jangan pernah Kau palingkan wajah-Mu dariku
Anugerahkanlah aku cinta-Mu...
Cinta yang tak pernah pupus oleh waktu

Amin !

Jangan jadi bunglon

gaulislam edisi 001/ tahun I (29 oktober 2007)

Hilang sudah kesan islami sepanjang hari. Lenyap sudah suasana “kota santri” dadakan. Kesan islami sepanjang hari selama Ramadhan akhirnya harus hilang sesaat setelah Lebaran. Suasana “kota santri” pun yang sering kita pertunjukkan di saat Ramadhan, kini kembali ke selera asal setelah Idul Fitri. Lenyap sudah suasana tersebut dan berganti suasana kehidupan bebas tanpa batas seperti sediakala (adegan: merenung, geleng-geleng kepala dan menunjukkan sikap prihatin, terus berdesis: hmm…)

Sobat muda muslim, waktu Ramadhan lalu, banyak di antara kita yang megenakan busana muslim/muslimah. Kita yang tergolong orang biasa dan mereka yang masuk kalangan seleb, semuanya punya pikiran dan perasaan: harus tampil islami. Meski hanya ditonjolkan lewat busana namun justru itulah cara termudah untuk ‘mengelabui’ orang. Percaya atau nggak masih bisa diperdebatkan. Tapi yang jelas, aksi tampil beda saat Ramadhan bagi yang sebelumnya memang rada-rada “okem”, ya memang mencurigakan. Apalagi jika kemudian setelah Ramadahan berlalu kembali “okem”. Tul nggak sih?

Okelah, soal niat dan motivasi cuma pelakunya yang tahu dan tentu Allah Swt. Tapi yang pasti perubahan “dadakan” di bulan Ramadhan itu bisa berdampak positif dan negatif sekaligus. Positifnya jelas. Tampilnya sebagian dari kita mengenakan busana muslim/muslimah dan maraknya syiar Islam di bulan suci yang lalu memberi kesan bahwa kita sadar betul dengan apa yang harus kita lakukan, yakni menghormati bulan Ramadhan sekaligus nunjukkin bahwa diri kita serius menghargainya dengan cara menjaga imej diri dan menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Apalagi jika kemudian hijrah total dari kegelapan menuju cahaya Islam meski Ramadhan telah berlalu. Bukti riilnya ditunjukkan dengan tetap berbusana menutup aurat sesuai tuntunan syariat, juga perilaku yang ber-akhlaqul karimah selepas Ramadhan. Hmm.. semoga ya.

Namun, selain berbuah sisi positif, ternyata juga dalam “perubahan dadakan” itu memunculkan sisi negatif. Apalagi jika kemudian setelah Ramadhan berlalu, kita balik lagi ke selera asal. Jadinya, kesan bahwa kita itu memanfaatkan situasi jadi kentara banget. Yup, memanfaatkan momen Ramadhan hanya untuk kepentingan sesaat. Motivasinya lebih karena ingin dianggap baik di hadapan manusia: berbusana yang sopan, bertutur kata yang baik, berperilaku yang sesuai ajaran Islam, bahkan para musisi juga rame-rame bikin album religi di bulan suci. But, selepas Lebaran hilang semua itu. Nggak ada bekasnya sama sekali. So, jangan salahkan orang lain yang risih dengan perilaku “bunglon” seperti ini, karena agama kayaknya dianggap sebagai komoditas untuk menjaga atau memoles citra diri. Duile… teganya… teganya… teganya…

Busana sebagai alat komunikasi

Dulu, tahun 1891, seorang antropolog Jerman bernama Eugene Dubois melakukan perjalanan menelusuri jejak manusia purba di kawasan Jawa. Di buku sejarah ditulis kalo doi menemukan fosil manusia purba yang kemudian dinamai dengan Pithecanthropus Erectus or “erect-ape man” alias manusia kera yang berjalan tegak. Nah, tentu aja digambarkan tanpa busana. Karena jaman tersebut belum ada pakaian. Pada masa tersebut, busana belum menjadi alat komunikasi. Karena apa yang mau dikomunikasikan dan kepada siapa pesan itu ditujukan, iya nggak sih? Kalo pun ada pesan yang ingin disampaikan, tapi bukan dalam bentuk busana.

Nah, waktu terus berjalan dan perkembangan manusia purba juga terus mengarah menuju kemajuan. Misalnya dalam berbusana. Bahkan ada film kartun yang dikemas dengan lucu yang menceritakan kehidupan “modern stone age”. Yup, film televisi yang diudarakan di Amrik antara tahun 1960-1966 besutan William Hanna dan Joseph Barbera itu diberi judul The Flintstones. Kamu pasti udah pada hapal kan dengan tokoh-tokohnya? Ada Fred, Wilma, dan tetangga mereka Barney Rubble.

Di film itu, ‘manusia purba’ udah ‘dipakaikan’ busana. Busananya tentu bukan seperti jaman kita sekarang. Tapi busana yang dicocokkan dengan jaman batu tersebut. Meski itu sebagai hiburan yang kocak banget, tapi penataan setting cerita itu cukup detil, khususnya dalam busana. Busana yang ditampilkan di film kartun (dan juga di film layar lebar garapan Steven Spielberg tahun 1994) ingin mengkomunikasikan kepada penonton bahwa itulah busana di “modern stone age”.

Sobat, pakaian memang bukan sekadar alat untuk menutup bagian tubuh tertentu yang harus dilindungi dari sengatan sinar matahari, dinginnya musim salju, dan menghindari goresan pada kulit akibat gesekan dengan benda lain, tapi juga sebagai alat komunikasi.

Ketika pakaian digunakan untuk mengkomunikasikan status sosial, maka ada pakaian kerajaan, ada pakaian yang khusus dikenakan para bangsawan, juga pakaian kaum proletar bin rakyak jelata. Di Eropa, kalo kamu baca buku-buku sejarah atau nonton film-film macam The Man in the Iron Mask yang dibintangi Leonardo Di Caprio atau dalam serial film Robin Hood, kita bisa bedain status sosial antara kaum proletar dengan kaum bangsawan adalah dari busana yang dikenakannnya.

Busana juga kemudian berperan dalam membedakan profesi seseorang. Misalnya nih, kalo ada orang yang berpakaian jas putih, apalagi dilengkapi stetoskop, berdasarkan kesepakatan selama ini orang tersebut ‘dicap’ berprofesi sebagai dokter.

Terus, pakaian juga bisa nunjukkin pesan untuk mengkomunikasi identitas. Misalnya pakaian untuk cowok dan cewek juga beda. Pakaian dari komunitas atau etnis tertentu juga pasti punya ciri khas. Bahkan pakaian berupa simbol-simbol keagamaan pun yang dikenakan oleh pemakainya adalah untuk mengkomunikasikan identitas mereka.

Nah, kaitannya dengan busana yang sopan dan rapi yang dikenakan banyak orang saat Ramadhan, tentunya mereka punya tujuan untuk mengkomunikasikan pesan kepada khalayak–tanpa harus ngomong dan menuliskan dengan huruf gede-gede di spanduk–bahwa “ini lho saya!”, “Seperti inilah kepribadian saya!”. Jadi, busana memang sebagai alat komunikasi, gitu lho.

Jangan (mudah) tertipu

Sobat muda muslim, dunia ini boleh dibilang kayak panggung sandiwara. Semua orang ingin memerankan apa yang disukainya dan tampak menarik di hadapan orang lain. Menarik di sini bisa sisi positif, bisa juga negatif. Sebab, kita harus ngakuin juga dong kalo ada orang yang tertarik dan sangat berminat di dunia kejahatan, maka ia akan ‘memerankan’ apa pun yang identik dengan ikon kejahatan. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang tertarik di dunia kebaikan, maka ia akan memerankan apa pun yang identik dengan ikon kebaikan, sesuai dengan kesepakatan umum manusia maupun agama. Itu sebabnya barangkali orang ingin tampil bukan sekadar apa adanya, tapi harus ada apa-apanya agar bisa dilihat orang lain dan membuat orang lain tertarik dengan apa yang kita perankan.

Maka, kalo kita menganggap bahwa bertutur kata santun, berpakaian sopan dan menjadi ikon kebaikan dalam pandangan masyarakat dan agama, maka kita akan melakukan semua hal itu. Harapannya, tentu agar orang lain menganggap dan menilai bahwa diri kita seperti yang ditampilkannya kepada khalayak ramai tersebut.

Nah, ini pula yang menjadi kajian sosiolog kelahiran Manville, Kanada, bernama Erving Goffman. Kajiannya yang terkenal adalah tentang Self (Self Presentation). Bukunya yang sangat terkenal dan melambungkan namanya ditulis pada tahun 1956 dan tahun 1959 berjudul The Presentation of Self in Everyday Life. Menurut Goffman, interaksi (di antara manusia) dalam hidup ini dapat dibandingkan dengan drama. Ia menilai bahwa manusia itu suka berpura-pura dan munafik, atau setidak-tidaknya ia bertindak untuk mendukung kesan kewenangan serta gengsinya bila ia sedang menampilkan perannya yang sah (misalnya sebagai dokter). Bahkan jika seseorang memang dokter yang berwenang pada aspek penampilannya yang ekspresif, dan bukan semata-mata aspek fungsionalnya. (Ensiklopedi Psikologi, hlm. 132)

Sobat, kalo pernyataan Erving Goffman ini kita simak dengan seksama maka kita bisa terapkan tuh untuk mengamati, mengkritisi dan menilai prilaku kita dan semua manusia yang bisa kita jumpai dalam kehidupan ini. Misalnya dalam kasus “berubahnya” penampilan kita pada momen-momen tertentu karena ingin memberikan kesan kepada orang lain bahwa “inilah kita” yang diinginkan oleh orang lain dengan standar norma masyarakat dan norma agama. Meskipun hakikatnya apa yang kita tampilkan ke hadapan semua orang sebenarnya bukan jatidiri kita. Halah, nipu dong?

Hmm.. bisa jadi. Maka Erving Goffman pun pernah tertarik pada penggunaan status simbol yang penuh “tipu daya”. Ia berdalih bahwa: “simbol lebih cocok dengan persyaratan komunikasi daripada hak dan kewajibannya yang diartikan oleh simbol itu.” Tuh benar banget kan, bahwa sebenarnya kita menampilkan diri di hadapan orang lain lebih karena ingin mengkomunikasikan bahwa diri kita begini dan begitu melalui simbol yang kita kenakan. Bukan asli diri kita.

Eiit.. jangan cemberut dulu. Kalo kamu nggak merasa niatannya tampil beda bukan karena ingin “memanfaatkan” simbol untuk menipu orang lain tentang kesan mereka terhadap diri kita ngapain musti ragu tampil beda. Iya nggak sih? Apalagi tampil beda kita punya standar, yakni Islam.

Sobat, setelah kamu tahu soal ini, maka jangan lagi mudah tertipu dengan penampilan luar dari orang lain ya. Sebab, penampilan seringkali berbeda (meski tidak selalu) dengan aslinya. Percayalah.

Kepribadian Islam

Boyz and galz, nggak seru tentunya kalo kita nggak nengok cara Islam ngatur umatnya. Benar. Islam emang punya konsep tentang kepribadian manusia. Menurut Muhammad Muhammad Ismail dalam kitab al-Fikru al-Islamiy, dalam pandangan Islam, akidah Islamlah yang akan membentuk akliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) seorang muslim. Artinya, jika akidah islamnya kokoh, pastinya akan mampu membentuk akliyah dan nafsiyah yang oke juga. Kalo pun ada seorang muslim yang akliyah dan nafsiyahnya kedodoran, atau seenggaknya berkualitas rendah, maka bisa dinilai bahwa itu berbanding lurus dengan kualitas or level akidah islamnya.

So, jangan terlalu kaget kalo ada seorang muslim yang udah punya nama islami, sering mengenakan simbol-simbol Islam untuk ditampilkan kepada orang-orang di sekitarnya, tapi ternyata masih gemar melakukan perbuatan yang dilarang ajaran Islam. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman doi terhadap ajaran Islam. Tentu, sikapnya tersebut belum bisa dikatakan bahwa dirinya memiliki kepribadian yang islami. Sebab, Islam nggak menjadikan “penampilan” sebagai standar utama kepribadian seseorang, tapi ukuran kepribadian dalam Islam adalah apakah ia berpikir islami atau berperasaan islami. Itu aja.

Oya, meski demikian, bukan berarti penampilan yang mencirikan jatidiri Islam dari seorang muslim nggak diperhatikan sama Islam, lho. Ada bagian di mana Islam ngasih konsekuensi, euy. Contohnya, kalo kita udah ngaku muslim, maka harus dong pikiran kita tuh Islam dan perasaan kita juga Islam. Terus dalam pengamalannya juga harus islami. Misalnya, mengenakan busana menutup aurat ketika keluar rumah sesuai dengan ketentuan yang diajarkan dalam Islam.

Singkat kata nih. Nggak nyambung banget kalo kita sebagai muslim hanya mengambil Islam sekadar simbol-simbolnya aja, sementara yang pokok seperti pikiran dan perasaan kita dibiarkan dijajah ide sekularisme, demokrasi, sosialisme, dan isme-isme lain di luar Islam.

Jadi, nggak perlulah menipu diri sendiri dan juga orang lain dengan menampilkan kesan dari simbol yang kita kenakan untuk mengkomunikasikan bahwa diri kita begini dan begitu sesuai standar kebaikan manusia, padahal sejatinya kita tidaklah seperti gambaran yang kita buat. So, jangan jadi bunglon deh. Ingat, mungkin kita bisa menipu sebagian besar manusia, tapi tidak semua manusia bisa tertipu, apalagi menipu Allah Swt. Lagian, semua perbuatan kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. kelak. Waspadalah!

Firman Allah Swt.:

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Israa’ [17]: 36)

Yuk, biar nggak jadi bunglon, kita kaji Islam dengan benar dan baik. Jadikan Islam sebagai akidah dan syariat. Amalkan dalam kehidupan sehari-hari sembari terus mengkampanyekan dalam dakwah kita tentang wajibnya menjadikan Islam sebagai the way of life bagi kita dan seluruh kaum muslimin. Biar mantatap, gitu lho![solihin: sholihin@gmx.net]

 
Copyright © Historia Vitae Magistra. Design by Templateezy