PERNIKAHAN DALAM ISLAM


A. Perempuan – Perempuan yang Haram Dinikahi

Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dika wini oleh ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amatlah dan dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengenai) ibu-ibumu; anak-anak yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dan saudarasaudara yang laki-laki; anak-anak perempuan dan saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anakanak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang sudah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu rniliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri yang telah kamu nikahi (campur) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahul lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa:22-24).

Dengan mencermati firman Allah tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tahrim, pengharaman’ ini terbagi dua:

1. Tahrim Muabbad (pengharaman yang berlaku selama-lamanya), yaitu seorang perempuan tidak boleh menjadi isteri seorang laki-laki di segenap waktu.
2. Tahrim Muaqqat (pengharaman yang bersifat sementara), jika nanti keadaan berubah, gugurlah tahrim itu dan ia menjadi halal.

a. Sebab-Sebab Tahrim Muaqqad (Pengharaman Selamanya) Ada Tiga:
1. perempuan-perempuan yang hararn dinikahi karena nasab adalah:
• Ibu kandung
• Anak perempuan kandung dan seterusnya kebawah (cucu dan seterusnya)
• Saudara perempuan (sekandung, seayah atau seibu)
• Bibi dan pihak ayah (saudara perempuan ayah)
• Bibi dan pihak ibu (saudara perempuan ibu)
• Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan)
• Anak perempuan saudara perempuan.
2. Perempuan-perempuan yang haram dinikahi karena mushaharah atau perkawinan adalah
• Ibu istri (ibu rnertua), Meskipun hanya sekedar akad nikah dengan puterinya, maka sang ibu menjadi haram atau menantu tersebut.
• Isteri anak (menantu perempuan), ia menjadi haram dikawini hanya sekedar dilangsungkannya akad nikah.
• Isteri bapak (ibu tiri) diharamkan atas anak menikahi isteri bapak dengan sebab hanya sekedar terjadinya akad nikah dengannya.
• Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain) apabila suami sudah berkumpul dengan ibunya.
3. perempuan-perempuan yang haram dikawini karena sepersusuan.
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Ibu-ibu kalian yang pernah menyusui kalian; saudara perempuan sepersusuan. “(an-Nisaa:23).
Nabi saw. bersabda. “Persusuan menjadikan haram sebagaimana yang
menjadi haram karena kelahiran. “(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Ban IX:139 no:5099. Muslim 11:1068 no:1444. Tirmidzi 11:307 no:1157, ‘Aunul Ma’bud VI:53 no:2041 dan Nasa’I Vl:99).
Oleh karena itu, ibu sepersusuan menempati kedudukan ibu kandung, dan semua orang yang haram dikawini oleh anak laki-laki dan jalur ibu kandung. haram pula dinikahi bapak sepersusuan. schingga anak yang menyusui kepada orang lain haram kawin dengan:
l. Ibu susu (nenek)
2. Ibu Ibu susu (nenek dan pihak Ibu susu)
3. Ibu Bapak susu (kakek)
4. Saudara perempuan ibu susu (bibi dan pihak ibu susu)
5. Saudara perempuan bapak susu
6. Cucu perempuan dan Ibu susu
7. Saudara perempuan sepersusuan
b. Perempuan-Perempuan Yang Haram Dinikahi Untuk Sementara Waktu
1. Mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara
Allah SWT berfirman, “Dan menghimpun (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada maya Iampau.” (An-Nisaa’ :23).
2. Mengumpulkan seorang isteri dengan bibinya dan pihak ayah ataupun dan pihak ibunya.
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidak boleh dikumpulkan
(dalam pernikahan) antara isteri bibinya dan pihak ayah dan tidak
(pula) dan ibunya.” (Muttafaqun ‘alaih: 11:160, Tirmidzi 11:297 no:11359 Ibnu
Majah 1:621 no:1929 dengan lafadz yang sema’na dan Nasa’i VI:98).
3. Isteri orang lain dan wanita yang menjalani masa iddah.
Hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya:
Dan (diharamkan juga kamu men gawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki. “(An-Nisaa’:24).
Yaitu diharamkan bagi kalian mdngawini wanita-wanita yang berstatus scbagai isteri orang lain, terkecuali wanita yang menjadi tawanan perang. Maka ia halal bagi orang yang menawannya setelah berakhir masa iddahnya meskipun ia masih menjadi isteri orang lain. Hal mi mengacu pada hadits dan Ahu S&id baha Rasulullah saw. pernah mengutus pasukari negeri Authas. Lalu mereka berjumla dengan musunya. lantar mereka rnemeranginya. Mereka berhasil rnenaklukkan mereka dan menangkap sebagian di antara mcreka sebagai tawanan. Sebagian dan kalangan sahabat Rasulullah saw merasa keberatan untuk mencampuri para tawanan wanita itu karena mereka berstatus isteri orang-orang musyrik. Maka kemudian Allah SWT pada waktu itu menurunkan ayat.
“Dan (diharamkan pula kamu mengawini) wanita-wanita bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. ‘Yaitu mereka halal kamu campuri bila
mereka selesai menjalani masa iddahnya. (Shahih: Mukhtashar Muslim no:837. Muslim 11:1079 no:1456, Tnimidzi IV: 301 no:5005. Nasa’i 54 V1:l 10 dan ‘Aunul M&bud VI:190 no:2 141).
4. Wanita yang dijatuhi talak tiga
Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama sehingga ia kawin dengan orang lain dengan perkawinan yang sah. Allah SWT berfirman, “Kemudian jika Si suami mentalaqnya (ssudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kemali, jika keduanya berpendapat akan dapat menja/ankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) men getahui.” (Al-Baqarah :230).
5. Kawin dengan wanita pezina
Tidak halal bagi seorang laki-laki menikahi wanita pezina, demikian juga tidak halal bagi seorang perempuan kawian dengan seorarig laki-laki pezina, terkecuali masing-masing dan keduanya tampak jelas sudah melakukan taubat nashuha. Allah menegaskan, ‘Laki-laki yang berzina tidak boleh men gawini kecuali perempuan berzina atau perempuan musryik; dan perempuan yang berzina tidak boleh dikawini melainkan oleh laki-laki berz!na atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
(An-Nuur: 3).






B. Pelaksanaan-pelaksanaan Pernikahan
Islam telah memberikan konsep yang jelas dan lengkap tenang cara pernikahan yang berlandaskan al Qurtan dan as Sunnah yang shohih dengan pemahaman para salafush sholih, sehingga kita tidak membutuhkan segala aturan dan adat istiadat serta kemubadziran dalam pelaksanaan pernikahan. diantara tata cara yang Islami tersebut adalah:
1. Khitbah (peminangan)
Seorang muslim yang ingin menikahi seorang muslimah, hendaklah dia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan wanita tersebut sudah dipinang orang lain: Dalam hadist shohih riwayat Bukhori Muslim, Nabi SAW melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang orang lain sampai yang meminangnya itu meninggalkan atau mengij inkannya.
Disunnahkan bagi orang yang meminang untuk melihat wajah dan yang lainnya dan wanita yang dipinang sehingga dapat mcnguatkannya untuk menikahi wanita tersebut, Al Mughiroh bin Syu’bah Radhialihu ‘Anhu penah meminang scorang wanita, maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepadanya:
Artinya:
“Lihatlah wanita tersehut karena hal itu dapat lebih melanggengkan (cinta kasih,) antara ku/ian herdua.”(HR at Tir,nidzi No 1087, an Nasal (VJ/69-1)).
Bagi para wali yang Allah ta’ala amanahkan anak-anak wanita padanya. Ketika datang laki-laki sholih meminang anak wanitanya, maka hendaklah dia mencrima lamaran laki-laki sholih te-rsebut, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam:
Artinya:
“Jika datang kepada ku/ian seorang laki-laki yang kulian ridhoi agama dan akhlaknya. maka nikahkanlah dia (dengan anak kulian,). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dimuka bumi dan kerucakan yang besar.” HR. alTirmidzi 1085.
Apabila seorang laki-laki tclah melihat (nadzhor) wanita yang dipinang, dan wanitanyapun sudah melihat laki-laki dan mereka telah bertekad hulat untuk men ikah. maka hcndaklah mereka berdua melakukan sholat istikhoroh dan berdoa sesudah sholat agar Allah ta’ala memberi taufiq dan kecocokan Serta memohon agar diberikan pilihan yang baik bagi mereka.
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada bebcrapa syarat. rukin dan kewajiban yang hartis dipenuhi. yaitu adanya:
• Rasa suka dan saling mencintal dan kedua calon mempelai.
• Izin dari walikin dan wali.
• Saksi-saksi (minimal 2 saksi yang adil)
• Mahar
• Ijab qabul
• Khutbah nikah
Pelaksanaan Upacara Akad Nikah. Dapat dilaksanakan dengan lansanakan dengan langkah sebagai berikut:
1. Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN /Penghulu terlebih dahulu
memeriksa/mengadakan pengecekan tilang persyaratan nikah dan administrasinya kepada kedua calon pengantin dan walinya untuk rnelengkapi kolom yang belum terisi pada waktu pemeriksaan awal di kantor atau apabila ada perubahan data dan hasil pemeriksaan awal. Setelah itu PPN/ Penghulu rnenetapkan dua orang saksi yang memenuhi syarat.
2. Sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan dianjurkan bagi ayah untuk meminta izin kepada anaknya yang masih gadis atau anak terlebih dahulu minta / memberikan izin kepada ayah atau wali, dan keharusan bagi ayah meminta izin kepada anaknya untuk menikahkan bila anak berstatus janda.
3. Sebelum pelaksanaan ijab qobul sebagaimana lazimnya upacara akad nikah bisa didahului dengan pembacaan khutbah nikah. pembacaan istighfar dan dua kalimat syahadat
4. Akad Nikah / Ijab Qobul
5. Pelaksanaan ijab qobul dilaksanakan sendiri oleh wali nikahnya terhadap calon mempelai pria, namun apabila karena sesuatu hal wali nikah/calon mempelai pria dapat mewakilkan kepada orang lain yang ditunjuk olehnya.
6. Penandatanganan Akta Nikah oleh kedua mempelai, wali nikah, dua orang saksi dan PPN yang menghadiri akad nikah.
7. Pembacaan Ta’lik Talak
8. Penandatanganan ikrar Talik Talak
9. Penyerahan maskawin/mahar
10. Penyerahan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah.
11. Nasihat perkawinan
12. Do’a penutup
3. Walimah
Walimatul ‘urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib dan diselenggarakan Sesederhana mungkin. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Artinya:
“Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan rnenyembelih seekor kambing. “(HR. Bukhori Muslim dan yang lainnya dan Anas bin Malik Radhiallu
‘Anhi).
Bagi orang yang diundang, maka waj lb baginya menghadiri walimah tersebut Selama didalamnya tidak ada rnaksiyat, bersabda Nabi halallahu ‘Alaihi Wasallarn:
Artinya:
“Jika salah seorang diantara kalian diundang menghadiri acara walimah, maka
datanglah!” (HR. Bukhoni Muslim dan lainnya dan lbnu ‘Uniar Radhialihu ‘Anhu,. Dan disunnahkan bagi yang menghadiri pernikahan untuk mendoakan bagi Kcdua mempelai dengan doa berikut irii:
Artinya:
“Semoga Allah memberkahimu dan memberkuhi pernikahanmu, serta semoga Allah niempersatukan ku/ian berdua da/am kehaikan.”HR. Abu Daud no 2130 Tirmidzi no 1091, Ahmad 11/381, Ibnu Majah no 1905 dan lainnya,).
4. Malam Pertama dan Adab Bersenggama
Saat pertama kali pengantin pria menemui istrinya setelah aqad nikah, disunnahkan melakukan beberapa hal berikut ini:
• Pertama: Suami memegang kepala si istri, lalu mendoakannya dengan doa berikut ini:
Artinya:
“Ya Allah, aku memo/ion kebaikannya dan kebaikan tabi’at yang dia bawa, dan aku berlindung dan kehurukannya dan kehurukan tab i’at yang din hawa.”(HR. Abu Daudno 2160. Ihnu Majah no1918 dan al Hakim).
• Kedua : Hendaklah dia sholat 2 rakaat bersama istrinya.
Syekh Al Ban dalam kitab Adaabuz Zifaaf fis sunnah al muthohharoh hal 94-97 mengatakan hai ini telah ada sandarannya dan para ulama salaf (shohabat dan tabi’in).
• Ketiga Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan
• Keempat : Berdoa sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli istrinya hendaklah membaca doa:
Artinya:
“Dengan menve but nania Allah, va Allah jauhkanlah aku dan .cyetan dan
jauhkanlah syelan dan anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”
Rosululloh Shalallahu Alaihi Wasallarn bersabda: “Maka apabila Allah ta’ala rnenetapkan lahirnya seorang anak dan hubungan yang dilakukan keduanya, niscaya .syetan tidak memhahayakannya selama-lamanya.” (HR. Bukhori Muslim dan Ibnu Abbas,).

C. Putusnya Akad Nikah
Perceraian berarti pemutusan ikatan perkawinan anrara suami dan istri.
Salah saru sebab perceraian adalah perselisihan atau pertengkaran suami-istri Perceraian yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, walaupun sudah didatangkan hakim (juru damai) dan pihak suami di pihak istri.
Pada dasarnya, perceraian merupakan perbuatan yang tidak terpuji, karena perkawinan dapar menimbulkan akibat-akibat yang negatif, terutama apabila suami dan istri yang bercerai itu sudah mempunyai anak. Rasulullah SAW bersabda sebagai
berikut:
Artinya: “Perbuatan yang ha/a!, tetapi paling dibenci Allah ia/tab talak.” (H.R. Aba Dawud dan Ibnu Majah)

Rasulullah SAW juga bersabda, “Setiap wanita (istri) yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan, haramlab baginya wangi-wangian surga.” (H.R. Asbbus Sunn kecuali An-Nasa’i) Pada kondisi-kondisi terrentu, mungkin perceraian Lebih baik dilakukan, karena apabila tidak dilakukan akan menyebabkan penderitaan, baik bagi istri maupun suami atau akan menyebabkan kedurhakaan kepada Allah SWT.
Hal-hal yang dapat memutuskan ikatan perkawinan adalah meninggalnya salah satu pihak suami atau istri, talak, fasakh, khulü li’an, Ila dan zihar. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Talak
Talak berarti melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara sukarela ucapan talak dan pihak suami kepada istrinya. Asal hukum talak adalah makruh (sesuatu yang dibenci atau tidak disenangi). Hal ini sesuai dengan
penegasan Rasulullah SAW dalam hadisnya, sebagaimana telah dikemukakan.
Hikmah Talak
Dari uraian bab-bab sebelumnya kita mengetahui beberapa perhatian Islam terhadap usrah muslimah (keluarga muslimah) dan keselamatanya serta terhadap damainya kehidupan di dalamnya dan kita juga melihat metode-metode terapi yang Islam syari’atkan untuk mengatasi segala perpecahan yang muncul di tengah usrah muslimah, baik disebabkan oleh salah sam suami isteri atau oleh keduanya.
Hanya saja, terkadang ‘ilaj (terapi dan upaya penyelesaian) tidak bisa efektif lagi karena perpecahannya sudah parah dan persengketaanya sudah memuncak, sehingga pada saat itu mesti di tempuh ‘ilaj yang lebih, yaitu talak.
Orang yang mencermati hukum-hukum yang terkandung dalam masalah talak akan kian kuat, menurutnya perhatian Islam terhadap institusi rumah tangga dan keinginan Islam demi kekalnya hubungan baik antara suami isteri. Karena itu, tatkala Islam membolehkan talak, ia tidak menjadikan kesempatan menjatuhkan talak hanya sekali yang kemudian hubugan kedua suami isteri terputus begitu saja selama-lamanya, tidak demikian, namun memberlakukannya sampai beberapa kali.
Allah SWT berfirman, “Talak (yang dapat di rujuki) dud kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan orang yang ma ‘rufatau menceraikan dengan cara yang baik. “ (AlBaqarah:229).
Apabila seorang laki-laki mentalak isterinya, talak pertama atau talak kedua, maka ia tidak berhak baginya untuk mengusir isterinya dan rumahnya sebelum berakhir masa idahnya., bahkan sang isteri tidak boleh keluar dan rumah tanpa izin dan suaminya. Hal itu disebabkan Islam sangat menginginkan segera hilangny amarah yang menyulut api perceraian. Kemudian Islam menganjurkan agar kehidupan harmonis rumah tangga, bisa segera pulih kembali seperti semula, dan inilah yang disebutkan Rabb kita dalam firman-Nya, “Hal Nabi jika kamu menceraikan isteri-isterimu, mereka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dan rumah merekaa dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau melakukanperbuatan keji yang terang. ftulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, ma/ca sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendini. Kamu tidak mengetahui barang kali Allah mengada/can sesudah itu suatu hal yang baru. “(Ath-Thalaq: 1)
Yaitu barang kali pihak suami menyesal atas keputusan mentalak isterinya, dan Allah Ta’ala menjadikan di dalam kalbunya keinginan kuat untuk rujuk (kembali) kepadanya sehingga yang demikian lebih mudah dan lebih gampang untuk proses rujuk.

Kiasifikasi Talak
1. Talak dilihat dan Segi Lafadz
a. Talak shanih.
Ialah talak yang difahami dan makna perkataan ketika diharapkan, dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain. Misalnya, “Engkau telah tertalak dan dijatuhi talak. Dan semua kalimat yang berasal dan lafazh thalaq. Dengan redaksi talak di atas, jatulilah talak, baik bergurau, main-main ataupun tanpa niat. Kesimpulan mi didasarkan pada hadits dan Abu Hurairah r.a. dan Nabi saw, beliau bersabda, “Ada tiga hal yang sungguh-sungguh, jadi serius dan gurauannya jadi serius (juga) nikah, talak, dan rujuk. “(Hasan: Irwa-ul Ghalil no:1826 dan Tirmidzi 11:328 no:1 195).
b. Talak kinayah
lalah redaksi talak yang mengandung arti talak dan lainnya.
Misalnya “Hendaklah engkau kembali kepada keluargamu”, dan semisalnya. Dengan redaksi talak tersebut maka tidak terjadi talak, kecuali diiringi dengan niat. Jadi apabila sang suami menyertai ucapan itu dengan niat talak maka jatuhlah talak dan jika tidak maka tidak terjadi talak.
2. Talak Dilihat dan Sudut Ta’liq dan Tanjiz
Talak adakalanya berbentuk Munajazah dan adakalanya berbentuk mu’allaqah. Redaksi talak munajazah ialah pemyataan talak yang sejak dikeluarkannya pernyataan tersebut pengucap bermaksud untuk mentalak, sehingga ketika itu juga jatuhlah talak. Misalnya: ia berkata kepada isterinya: ‘Engkau tertalak’. Hukum talak munajazah ini terjadi sejak itu juga, ketika diucapkan oleh orang yang bersangkutan dan tepat sasarannya.
Adapun talak mu’allaq, yaitu seorang suami menjadikan jatuhnya talak bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata kepada isterinya: Jika engkau pergi, maka engkau ditalak. Hukum talak mu’allaq mi apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak ketika terpenuhinya syarat. Maka jatuh talaknya sebagaimana yang diinginkannya.
Adapun manakala yang dimaksud oleh sang suami dengan talak mu’allaq, adalah untuk menganjurkan (agar sang isteri) melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka ucapan itu adalah sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak teijadi, maka sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, danjika teijadi, maka ia wajib membayan kafarah sumpah.
3. Talak Dilihat dan Segi Angumentasi
Dilihat dari sisi mi talak terbagi kepada talak sunni dan talak bid’i. Adapun yang dimaksud talak sunni ialah seorang suami menceraikan isterinya yang sudah pernah dicampurinya sekali talak, pada saat isterinya sedang suci dan darah haidh yang mana pada saat tersebut ia belum mencampurinya.
Allah SWT berfirman, “Talak yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan do ‘a yang ma ‘rufatau menceraikan dengan cara yang balk. “ (AlBaqarah:229).
“Hal Nabi apabila kamu akan menceraikan isteri-isterimu, ma/ca hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang wajar. “(AtThalaq: 1).
Adapun talak bid’i ialah talak yang bertentangan dengan ketentuan syari’at. Misalnya seorang suami mentalak isterinya ketika ia dalam keadaan haidh, atau pada saat suci namun ia telah mencampurinya ketika itu atau menjatuhkan talak tiga kali ucap, atau dalam satu majlis. Contoh, : Engkau ditalak tiga atau engkau ditalak, engkau ditalak, engkau ditalak. Hukum talak ini adalah haram, dan pelakunya berdosa. Jadi, jika seorang suami mentalak isterinya yang sedang haidh, maka tetap jatuh tu talaknya. Namun jika itu adalah talak raj‘i, maka ia diperintahkan untuk rujuk kepada isterinya kemudian meneruskan perkawinannya hingga suci. Kemudian haidh lagi, lalu suci kedua kalinya. Dan kemudian kalau Ia mau teruskanlah ikatan pemikahannya, dan jika ia menghendaki, ceraikanlah sebelum mencampurinya.
4. Talak Ditinjau dari Segi Boleh Tidaknya Rujuk
Talak terbagi menjadi dua yaitu talak raj’i (suami berhak untuk rujuk) dan talak bain (tak ada lagi hak suami untuk rujuk kepada isteninya). Talak bain terbagi dua. yakni bainunah shughra dan bainunah kubra.
Talak raj’i adalah talak isteri yang sudah didukhul (dicampuri) tanpa menerima pengembalian mahar dad isteri dan sebagai talak pertama atau talak kedua. Allah SWT befirman, “Talak (yang dirujuki) dua kalia. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma ‘rufatau menceraikan dengan cara yang balk. “(Al-Baqarah:229).
Wanita yang dijatuhi talak raj’i suami berhak untuk rujuk dan dia berstatus sebagai isteri yang sah selama dalam masa iddah, dan bagi suami berhak untuk rujuk kepadanya pada waktu kapan saja selama dalam massa iddah dan tidak dipersyaratkan harus mendapat ridha dan pihak isteri dan tidak pula izin dari walinya Allah SWT berfirman, “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan din (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnyajika mereka beriman kepada Allah dan han akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti (berakhirnya masa iddah) itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. “(A1-Baqarah:228).
b. Fasakh
Fasakh adalah pembatalan pernikahan antara suami-istri karena sebab-sebab tertentu. Fasakh dilakukan oleh hakim agama, karena adanya pengaduan dan istri atau suami dengan alasan yang dapat dibenarkan.
Akibat perceraian dengan fasakh, suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya. Namun, kalau ia ingin kembali sebagai suami-istri harus melalui akad nikah baru. Berbeda dengan khuIü fasakh tidak memengaruhi bilangan talak. Artinya, walaupun fasakh dilakukan lebih dan tiga kali, bekas suami-istri itu boleh menikah kembali, tanpa bekas istrinya harus menikah dulu dengan laki-laki lain.
c. Khulü’
Menurur istilah bahasa, khu1i’ berarti tanggal. Dalam ilmu fikih, khulu’ adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, dengan jalan tebusan dan pihak istri, baik dengan jalan rnengembalikan mas kawin kepada suaminya, atau dengan memberikan sejumlah uang (harta) yang disetujui oleh mereka berdua.
Khulü’ diperkenankan dalam Islam, dengan maksud untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi istri, karena adanya tindakan-nindakan suami yang tidak wajar (umum). Allah SWT berfirman yang artinya, ‘jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Q.S. A1-Baqarah, 2: 229)
Akibat penceraian dengan cara khulu’ suami tidak dapat rujuk, walaupun bekas istrinya masih dalam masa ‘iddah. Akan tetapi, kalau bekas suami-istri itu ingin kembali, harus melalui akad nikah baru.
Berbeda dengan fasakh, khulu’ dapat memengaruhi bilangan talak. Artinya, kalau sudah tiga kali dianggap tiga kali talak (talstk ba’in kubra), sehingga suami tidak boleh menikah lagi dengan bekas istrinya, sebelum bekas istrinya itu menikah dulu dengan laki-laki lain, bercerai, dan habis masa ‘iddah-nya

d. Li’ãn
Li’an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina (karena suami tidak dapat mengajukan 4 orang saksi yang melihat istrinya berzina). Dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada ucapan kelima kalinya dia mengatakan, “Laknat (kutukan) Allah akan ditimpakan atas diriku, apabila tuduhanku itu dusta.”
Apabila suami sudah menjatuhkan li’an, berlakulah hukum rajam terhadap istrinya, yaitu dilempari dengan batu yang sedang sampai mati.
Agar istri terlepas dan hukum rajam karena merasa tidak berzina, ia harus menolak tuduhan suaminya dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada kali kelimanya dia mengatakan, “Laknat (kutukan) Allah akan menimpa diriku apabila tuduhan tersebut benan.”
Sumpah suami-istri seperti di atas, secara otomatis menyebabkan mereka bercerai serta tidak boleh rujuk atau menikah kembali. untuk selama-lamanya. Bahkan, kalau setelah itu si istri hamil, anak tersebut tidak boleh diakui sebagai anak bekas suaminya.
Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang hi’an ini terdapat dalam Sunah An-Nih, 24: 6-10.
e. IIa’
Ila’ berarti sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya selama empat bulan atau Iebih, atau dalam masa yang tidak ditentukan. Sumpah suami tersebut hendaknya ditunggu sampai empat bulan. Jika sebelum empat bulan dia kembali kepada istrinya dengan baik, maka dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat).
Akan tetapi, jika sampai empat bulan dia tidak kembali pada istrinya, maka hakim berhak menyuruhnya untuk memilih di antara dua hal, yaitu kembali kepada istrinya dengan membayar kafàrat sumpah atau mentalak istrinya. Apabila suami tidak bersedia menentukan pilihannya, hakim memutuskan bahwa suami telah mentalak istrinya dengan talak ba’in sugra, sehingga ia tidak dapat rujuk lagi.
Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang ila’ ialah Surah A1—Baqarah, 2:
226 dan 227.
f. Zihã
Zihãr adalah ucapan suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti suami berkata kepada istrinya, “Punggungmu sama dengan punggung
ibuku.” jika suami mehgucapkan kata-kara tersebut, dan tidak melanjutkannya ucapan suami yang dengan mentalak istrinya, wajib baginya rnembayar kafarat. dan haram meniduri menyerupakan istrinya sebelum kafarat dibayar.

Hukum Zhihar
zhihar adalah haram, karena Allah SWT mengkategorikan zhihar sebagai perkataan yang mungkar dan dusta, dan Dia mengingkari orang yang menzhihar isterinya. Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu (menganggap isterinya sebagai ibunya), padahal tiadalah isteri mereka ibu mereka. Ibu-ibu meraka tidak lain hanyalah yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesugguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. “ (Al-Mujadilah:2).
Apabila seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya dalam waktu kurang dan empat bulan, maka lebih utama hendaklah ia membatalkannya dengan membayar kafarah, lantas mencampurinya. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa bersumpah atas suatu hal, lalu Ia melihat yang lainnya lebih baik daripada sumpahnya tersebut maka hendaknya Ia membatalkan dan membayar kafarah “ (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:6208, Muslim 111:1271 no:1650 Nasa’i VII:1 1 dan Ibnu Majah 1:681 ni:2108).
Adapun apabila sang suami bersumpah untuk tidak bergaul dengan isterinya selama-lamanya atau dalam jangka waktu lebih dan empat bulan, maka jika dia membatalkannya dengan membayar kafarah dan kembali mencampurinya (maka selesailah urusannya); dan jika tidak sang isteri harus menunggu empat bulan, lalu menuntut kepada suaminya agan mencampurinya atau menceraikannya. Hal ini merujuk pada firman Allah SWT, “Kepada orang-orang yang meng-illa’ isterinya di beritangguh empat bulan, kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berlain (bertetap hati untuk) tidak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar” (A1-Baqarah:226-227)
D. Iddah
Menurut bahasa, kata iddah berasal dan kata ‘adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah han dan masa haidh atau masa suci. Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhimya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.
Iddah atau masa menunggu seorang wanita pasca menikah, adalah masa dimana seorang istri harus menunggu dikarenakan perceraian atau ditinggal mati oleh suaminya guna memastikan bahwa ia tidak sedang dalam keadaan hamil sebelum ia menikah lagi. Selama masa ‘Iddah si istri tetap mendapatkan nafkah oleh mantan suaminya yang disebut nafkah ‘Iddah.
Tujuan ‘Iddah antara Lain :
1. Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atatftidak.
2. Syariat Islam telah mentahbiskan masa ‘Iddah untuk menghindari kebingungan akan garis keturunan yang mana akan muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah.
3. Masa dimana seorang wanita menghabiskan masa ‘Iddahnya baik itu dalamjangka waktu yang pendek ataupun panjang mencerminkan keseriusan akan pernikahan dan seberapa jauh ikatan suci pernikahan tersebut.
4. Akan membuat pria dan wanita untuk berpikir dua kali untuk memutuskan tali kekeluargaan, terutama dalam kasus dimana perceraian dapat dibatalkan. (Sumber:
Ensikiopi Fiqih Negara Kuwait)

Lama masa ‘Iddah adalah sebagai berikut :
1. Untuk wanita yang ditinggal mati suaminya
Bagi wanita janda yang ditinggal mati suaminya ketika dia sedang mengandung bayi maka masa menunggunya (‘Iddahnya) berakhir setelah ia melahirkan bayinya. Allah SWT berfirman, “.. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya ...“ (At-Thalaq: 4)
Jika wanita janda tersebut tidak hamil maka masa ‘Iddahnya adalah setelah empat bulan dan sepuluh hail. Allah SWT berfirman, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari ... “(Al-Baqarah: 234)
2. Untuk wanita yang diceraikan
Bagi wanita yang diceraikan, masa ‘Iddahnya berakhir setelah tiga kali masa suci dan menstruasi, jika ia tidak sedang hamil. Allah SWT berfirman: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma‘ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 228).

Bagi wanita yang diceraikan yang sudah mencapai masa menopause tapi masih aktif berhubungan suami-istri maka masa ‘Iddahnya adalah tiga bulan. Allah SWT berfirman: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; ...“ (At-Thalaq:4)

Bagi wariita yang diceraikan tapi belum pemah sekalipun melakukan hubungan suami istri maka tidak ada masa ‘Iddah baginya. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (Al-Ahzab:49)

Bagi wanita yang diceraikan - seperti halnya wanita yang ditinggal mati - dalam keadaan hamil maka masa ‘Iddahnya berakhir setelah ia melahirkan bayinya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © Historia Vitae Magistra. Design by Templateezy