Lagi, untuk kedua kalinya perempuan berusia lima puluh tahunan itu tak sadarkan diri. Terlalu sulit baginya menerima kenyataan bahwa jenazah yang terbaring di atas keranda itu adalah anak yang sangat dicintainya.
Lemas, bagai tak bertulang laki-laki separuh baya itu tak mampu menopang tubuhnya. Tak sanggup kakinya melangkah, mendekat ke arah jenazah.
Sesal, bagitu dalam mendera sepasang suami istri ini. Bukan, bukan mereka tak menerima takdir Illahi. Mereka sadar dan percaya bahwa apapun, siapapun dan bagaimanapun tak ada yang bisa menghalangi takdir. Hari, tanggal, waktu dan tempat sudah ditetapkan bagi almarhumah, bahkan sejak ia masih dalam kandungan. Tapi kesalahan dan kekhilafan mereka pada almarhumah, terus membebani batin mereka. Mereka tahu alamarhumah begitu pemaaf, tapi sulit bagi mereka untuk memaafkan diri sendiri.
Gagal menempatkan perkara genting di atas yang penting, itulah sebab penyesalan mendalam mereka.
Semestinya, ia tak terus memaksa sang istri untuk segera pulang, meninggalkan sang anak yang sedang menjalani perawatan, dalam kondisi kritis dan tidak bisa dipastikan. Seharusnya ia tak menggunakan pertanyaan si kecil akan ibunya sebagai ‘senjata’ untuk mendesak agar sang istri cepat pulang. Selalu dan terlalu banyak cara untuk menghibur si kecil. Bahkan sebenarnya sangatlah wajar bila malam tiba, sebelum tidur si kecil bertanya akan ibunya yang jauh di mata. Bagaimanapun rasa kangennya - juga si kecil – sesungguhnya mereka dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Berbeda dengan anak tirinya yang sedang berjuang melawan maut, sangat membutuhkan kehadiran seorang ibu di sisinya. Penyesalan laki-laki ini kini tak berarti lagi.
Dan meskipun ia tahu bahwa kepatuhan pada suami adalah utama, semestinya ia bisa menjelaskan bahwa sang anak sangat membutuhkan keberadaannya. Juga bisa dimusyawarahkan tentang sawah yang sebenarnya belum lagi memulai masa tanam, baru sebatas persiapan. Tidak jauh tertinggal jika memang harus ditunda. Masih ada anak kandung suami keduanya yang bisa memasakkan nasi untuk orang-orang yang mengerjakan sawah mereka. Juga masih ada solusi untuk membayar lebih kepada para pekerja, tanpa harus memberikan makanan dan minuman.
Tak hanya melihat, sebenarnya ia juga bisa merasakan betapa sakit yang diderita anak dari almarhum suami pertamanya ini. Namun ia juga tak bisa menutupi pedih hatinya dari mendengar panggilan manja si kecil dari suami kedua nun jauh disana, sepulang sekolah. Bagai buah si malakama, di satu sisi ia tak tega meninggalkan yang sakit sendiri - karena sang menantu tak bisa lagi terus-terusan ijin dari pekerjaannya - tapi ia juga tak bisa berpura-pura tidak rindu pada putri kecilnya. Kehadiran dan kasih sayangnya kini diperebutkan oleh dua darah dagingnya. Anak kandungnya, dari almarhum suami pertama dan suami keduanya, di dua tempat berbeda, yang sangat jauh letaknya.
Satu keputusan akhirnya diambil. Pulang ke kampung halaman, meninggalkan sang anak yang masih dalam perawatan hingga jangka waktu yang belum bisa dipastikan, demi kepatuhan pada sang suami, juga kerinduan si kecil yang telah menguasai sebagian besar rasa cintanya. Satu yang tak pernah disangka-sangka, kepulangan sang ibu malam itu adalah juga kepulangan sang anak pada Illahi, Pemilik Cinta Sejati.
Berpacu dengan waktu, sang ibu tak pernah tahu bahwa jauh di belakangnya melaju sebuah kendaraan membawa jenazah anak pertamanya. Ia baru menyadari setelah tiba di rumah, dimana seluruh keluarga sudah berkumpul, melakukan persiapan untuk menyambut kedatangan jenazah. Inna lilahi wa inna Ilaihi rojiuun. Tentu bukan karena ia tinggalkan, tapi memang demikian Allah menentukan. Hanya saja mengapa kepulangan sang anak seperti menghindar darinya, tak ingin ditunggui olehnya. Akan lain ceritanya bila saat sang anak meregang nyawa, ia masih berada di sana, mendampinginya. Setiap mengingat akan hal ini, setiap kali itu pula perempuan setengah baya ini tak sadarkan diri.
***
Hidup ini tak lepas dari pilihan. Kebijakan dan pertimbangan yang matang sangat diperlukan ketika menentukan sebuah pilihan. Banyak kegagalan, kehancuran atau minimal penyesalan muncul sebagai akibat dari salah menentukan pilihan. Kisah di atas hanya salah satu contohnya. Bukan semata karena kecerobohan, tapi terkadang hidup memberikan pilihan yang tidak gampang. Dua hal terlihat sama, meskipun sebenarnya diantara yang penting ada salah satu yang genting.
Dalam berumah tangga, kita mengenal keputuhan primer, sekunder dan juga tersier. Jelas kebutuhan primer berada di atas kebutuhan lainnya. Harus diutamakan. Tapi bagaimana bila kemudian muncul satu kebutuhan tak terduga yang mendesak sifatnya. Di sinilah kebijakan mengelola rumah tangga diperlukan. Betapapun pentingnya kebutuhan primer, masihlah bisa dinomor duakan karena sesuatu yang mendesak atau darurat. Tak apalah meniadakan makan malam lantaran uang yang untuk membeli makanan dipakai untuk berobat anggota keluarganya yang demam tinggi. Sesuatu yang penting ditunda demi sesuatu yang genting.
Dalam beribadah, ada istilah wajib dan sunnah. Jelas yang wajib lebih utama untuk ditunaikan. Tapi dalam kondisi tertentu yang mendesak ataupun darurat, kita diberikan satu kemudahan, keringanan. Sesuatu yang wajib dan penting bisa ditunda dan atau disederhanakan. Menjamak dan qashar sholat fardu dalam perjalanan yang bukan maksiat misalnya. Atau memakan daging bangkai hewan yang haram dimakan ketika sama sekali tak ada makanan lain untuk sekedar bertahan hidup, contoh lainnya. Sesuatu yang penting ‘dikalahkan’ oleh sesuatu yang genting.
Teringat tentang satu pelajaran bimbingan dan penyuluhan yang saya dapatkan ketika duduk di bangku SMP. Saat itu, kami ditugaskan untuk menjawab sebuah soal yang benar-benar membingungkan. Kami dituntut untuk membedakan dengan tepat tingkatan penting dan genting dari sebuah peristiwa. Kami diibaratkan petugas lalu lintas di sebuah perempatan jalan. Siapakah yang harus kami dahulukan ketika datang dari arah yang berbeda masing-masing sebuah mobil pemadam kebakaran, mobil ambulance, iring-iringan presiden dan juga rombongan pelajar yang menjadi petugas upacara di istana negara. Penting, bagi kami terlihat keempatnya sama penting. Namun sang guru mengingatkan bahwa walau terlihat sama, sebenarnya ada tingkat kepentingan yang berbeda. Ada satu yang genting di antara yang penting. Yang genting harus didahulukan barulah yang penting lainnya menyusul kemudian.
Tidak mudah memang membedakan dan kemudian menentukan mana yang harus didahulukan manakala semuanya memiliki tingkat kepentingan yang hampir sama. Diperlukan kecermatan, keluasan wawasan juga kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.
Kisah di awal tulisan bukan bermaksud membeberkan aib seseorang, namun mencoba memetik satu pelajaran bahwa rasa sesal yang mendalam bisa muncul ketika sebuah keputusan diambil tidak dengan mempertimbangkan faktor penting dan gentingnya. Sekilas memang hampir sama, membingungkan, bagai buah si malakama. Tapi dengan kejernihan hati dan pikiran, sesuatu yang genting itu sebenarnya nyata terlihat di antara beberapa yang penting.
Sudahkah kita menempatkan sesuatu sesuai pada kadar kepentingan yang tepat? Tepatkah kita menentukan mana yang genting, kemudian mana yang penting dan menyusul yang lebih rendah tingkatannya? Semuanya menjadi sulit bahkan mustahil jika kita tidak peduli atau terbiasa menyamaratakan segala sesuatu tanpa pertimbangan yang bijak dan matang. Juga bisa berakibat fatal bila kita sembrono menempatkan kepentingan sesuka hati kita. Sesungguhnya, sayapun sedang belajar membedakan dua hal ini. Saya masih harus banyak belajar membedakan antara penting dan genting. Bagaimana dengan anda?
http://www.eramuslim.com/oase-iman/abi-sabila-antara-penting-dan-genting.htm
Lemas, bagai tak bertulang laki-laki separuh baya itu tak mampu menopang tubuhnya. Tak sanggup kakinya melangkah, mendekat ke arah jenazah.
Sesal, bagitu dalam mendera sepasang suami istri ini. Bukan, bukan mereka tak menerima takdir Illahi. Mereka sadar dan percaya bahwa apapun, siapapun dan bagaimanapun tak ada yang bisa menghalangi takdir. Hari, tanggal, waktu dan tempat sudah ditetapkan bagi almarhumah, bahkan sejak ia masih dalam kandungan. Tapi kesalahan dan kekhilafan mereka pada almarhumah, terus membebani batin mereka. Mereka tahu alamarhumah begitu pemaaf, tapi sulit bagi mereka untuk memaafkan diri sendiri.
Gagal menempatkan perkara genting di atas yang penting, itulah sebab penyesalan mendalam mereka.
Semestinya, ia tak terus memaksa sang istri untuk segera pulang, meninggalkan sang anak yang sedang menjalani perawatan, dalam kondisi kritis dan tidak bisa dipastikan. Seharusnya ia tak menggunakan pertanyaan si kecil akan ibunya sebagai ‘senjata’ untuk mendesak agar sang istri cepat pulang. Selalu dan terlalu banyak cara untuk menghibur si kecil. Bahkan sebenarnya sangatlah wajar bila malam tiba, sebelum tidur si kecil bertanya akan ibunya yang jauh di mata. Bagaimanapun rasa kangennya - juga si kecil – sesungguhnya mereka dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Berbeda dengan anak tirinya yang sedang berjuang melawan maut, sangat membutuhkan kehadiran seorang ibu di sisinya. Penyesalan laki-laki ini kini tak berarti lagi.
Dan meskipun ia tahu bahwa kepatuhan pada suami adalah utama, semestinya ia bisa menjelaskan bahwa sang anak sangat membutuhkan keberadaannya. Juga bisa dimusyawarahkan tentang sawah yang sebenarnya belum lagi memulai masa tanam, baru sebatas persiapan. Tidak jauh tertinggal jika memang harus ditunda. Masih ada anak kandung suami keduanya yang bisa memasakkan nasi untuk orang-orang yang mengerjakan sawah mereka. Juga masih ada solusi untuk membayar lebih kepada para pekerja, tanpa harus memberikan makanan dan minuman.
Tak hanya melihat, sebenarnya ia juga bisa merasakan betapa sakit yang diderita anak dari almarhum suami pertamanya ini. Namun ia juga tak bisa menutupi pedih hatinya dari mendengar panggilan manja si kecil dari suami kedua nun jauh disana, sepulang sekolah. Bagai buah si malakama, di satu sisi ia tak tega meninggalkan yang sakit sendiri - karena sang menantu tak bisa lagi terus-terusan ijin dari pekerjaannya - tapi ia juga tak bisa berpura-pura tidak rindu pada putri kecilnya. Kehadiran dan kasih sayangnya kini diperebutkan oleh dua darah dagingnya. Anak kandungnya, dari almarhum suami pertama dan suami keduanya, di dua tempat berbeda, yang sangat jauh letaknya.
Satu keputusan akhirnya diambil. Pulang ke kampung halaman, meninggalkan sang anak yang masih dalam perawatan hingga jangka waktu yang belum bisa dipastikan, demi kepatuhan pada sang suami, juga kerinduan si kecil yang telah menguasai sebagian besar rasa cintanya. Satu yang tak pernah disangka-sangka, kepulangan sang ibu malam itu adalah juga kepulangan sang anak pada Illahi, Pemilik Cinta Sejati.
Berpacu dengan waktu, sang ibu tak pernah tahu bahwa jauh di belakangnya melaju sebuah kendaraan membawa jenazah anak pertamanya. Ia baru menyadari setelah tiba di rumah, dimana seluruh keluarga sudah berkumpul, melakukan persiapan untuk menyambut kedatangan jenazah. Inna lilahi wa inna Ilaihi rojiuun. Tentu bukan karena ia tinggalkan, tapi memang demikian Allah menentukan. Hanya saja mengapa kepulangan sang anak seperti menghindar darinya, tak ingin ditunggui olehnya. Akan lain ceritanya bila saat sang anak meregang nyawa, ia masih berada di sana, mendampinginya. Setiap mengingat akan hal ini, setiap kali itu pula perempuan setengah baya ini tak sadarkan diri.
***
Hidup ini tak lepas dari pilihan. Kebijakan dan pertimbangan yang matang sangat diperlukan ketika menentukan sebuah pilihan. Banyak kegagalan, kehancuran atau minimal penyesalan muncul sebagai akibat dari salah menentukan pilihan. Kisah di atas hanya salah satu contohnya. Bukan semata karena kecerobohan, tapi terkadang hidup memberikan pilihan yang tidak gampang. Dua hal terlihat sama, meskipun sebenarnya diantara yang penting ada salah satu yang genting.
Dalam berumah tangga, kita mengenal keputuhan primer, sekunder dan juga tersier. Jelas kebutuhan primer berada di atas kebutuhan lainnya. Harus diutamakan. Tapi bagaimana bila kemudian muncul satu kebutuhan tak terduga yang mendesak sifatnya. Di sinilah kebijakan mengelola rumah tangga diperlukan. Betapapun pentingnya kebutuhan primer, masihlah bisa dinomor duakan karena sesuatu yang mendesak atau darurat. Tak apalah meniadakan makan malam lantaran uang yang untuk membeli makanan dipakai untuk berobat anggota keluarganya yang demam tinggi. Sesuatu yang penting ditunda demi sesuatu yang genting.
Dalam beribadah, ada istilah wajib dan sunnah. Jelas yang wajib lebih utama untuk ditunaikan. Tapi dalam kondisi tertentu yang mendesak ataupun darurat, kita diberikan satu kemudahan, keringanan. Sesuatu yang wajib dan penting bisa ditunda dan atau disederhanakan. Menjamak dan qashar sholat fardu dalam perjalanan yang bukan maksiat misalnya. Atau memakan daging bangkai hewan yang haram dimakan ketika sama sekali tak ada makanan lain untuk sekedar bertahan hidup, contoh lainnya. Sesuatu yang penting ‘dikalahkan’ oleh sesuatu yang genting.
Teringat tentang satu pelajaran bimbingan dan penyuluhan yang saya dapatkan ketika duduk di bangku SMP. Saat itu, kami ditugaskan untuk menjawab sebuah soal yang benar-benar membingungkan. Kami dituntut untuk membedakan dengan tepat tingkatan penting dan genting dari sebuah peristiwa. Kami diibaratkan petugas lalu lintas di sebuah perempatan jalan. Siapakah yang harus kami dahulukan ketika datang dari arah yang berbeda masing-masing sebuah mobil pemadam kebakaran, mobil ambulance, iring-iringan presiden dan juga rombongan pelajar yang menjadi petugas upacara di istana negara. Penting, bagi kami terlihat keempatnya sama penting. Namun sang guru mengingatkan bahwa walau terlihat sama, sebenarnya ada tingkat kepentingan yang berbeda. Ada satu yang genting di antara yang penting. Yang genting harus didahulukan barulah yang penting lainnya menyusul kemudian.
Tidak mudah memang membedakan dan kemudian menentukan mana yang harus didahulukan manakala semuanya memiliki tingkat kepentingan yang hampir sama. Diperlukan kecermatan, keluasan wawasan juga kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.
Kisah di awal tulisan bukan bermaksud membeberkan aib seseorang, namun mencoba memetik satu pelajaran bahwa rasa sesal yang mendalam bisa muncul ketika sebuah keputusan diambil tidak dengan mempertimbangkan faktor penting dan gentingnya. Sekilas memang hampir sama, membingungkan, bagai buah si malakama. Tapi dengan kejernihan hati dan pikiran, sesuatu yang genting itu sebenarnya nyata terlihat di antara beberapa yang penting.
Sudahkah kita menempatkan sesuatu sesuai pada kadar kepentingan yang tepat? Tepatkah kita menentukan mana yang genting, kemudian mana yang penting dan menyusul yang lebih rendah tingkatannya? Semuanya menjadi sulit bahkan mustahil jika kita tidak peduli atau terbiasa menyamaratakan segala sesuatu tanpa pertimbangan yang bijak dan matang. Juga bisa berakibat fatal bila kita sembrono menempatkan kepentingan sesuka hati kita. Sesungguhnya, sayapun sedang belajar membedakan dua hal ini. Saya masih harus banyak belajar membedakan antara penting dan genting. Bagaimana dengan anda?
http://www.eramuslim.com/oase-iman/abi-sabila-antara-penting-dan-genting.htm