Hukum di Indonesia kembali tercoreng. Profesionilsme
aparat hukum yang menjadi penentu kehidupan hukum dan kemanusiaan masyarakat
Indonesia semakin menunjukkan kekacauan.
Betapa tidak, kasus pembunuhan yang terjadi di Kendari
Propinsi Sulawesi Tenggara yang membawa terdakwa Adis alias Adi bin Tuda
divonis hakim bersalah telah melakukan pembunuhan terhadap Arni (wanita),
ternyata tidak benar. Sang korban hingga saat ini ternyata masih hidup, sehat
wal afiat dan, tinggal di Malaysia sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Fakta ini membuktikan bahwa polisi bukan saja keliru
mengidentifikasi mayat yang ditemukan pada awal Januari 2004 itu dan menetapkan
tersangkanya, tetapi juga menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam bagi
Adis alias Adi bin Tuda yang “konon” dianaiaya agar dipaksa mengaku dan sudah
terlanjur menjalani hukuman penjara selama 2,7 tahun dari 8 tahun waktu yang
ditetapkan hakim.
Di samping itu, Aparat kejaksaan pun sebagai penyidik
ternyata hanya menjadi “yes man”
karena tetap melanjutkan proses persidangan itu dan memuluskan “gelar”
ketidakprofesionalan mereka. Tak ketinggalan, hakim di pengadilan pun turut
“membuktikan” dirinya sebagai “pengambil keputusan bagi manusia tak bersalah”
(dalam kasus ini).
Kasus itu sendiri berawal dari penemuan sesosok mayat
wanita di kawasan Asrama Haji, Lepo-lepo, Baruga, Kota Kendari pada hari sabtu
(10/1) 2004 sekitar pukul 15.00 Wita oleh warga setempat. Setelah dua hari
diselildiki, polisi menyimpulkan identitas mayat tersebut adalah Arni berusia
20 tahun, karyawan sebuah tempat hiburan malam. Selang beberapa hari kemudian,
pelakunya ditangkap yakni seorang pria bernama Adis alias Adi.
Kesimpulan tersebut diyakini oleh Kapolsekta pada saat itu
setelah diidentifikasi dan melalui penelusuran informasi dari berbagai pihak,
utamanya dari orang-orang yang melaporkan kehilangan keluarganya.
Berkas perkara dari kepolisian Polsekta Baruga dianggap
lengkap oleh Jaksa pada tanggal 16 Maret 2004 dengan nomor register 49 perkara
tahap dua (II) Penuntutan pidana umum (Pidum) tahun 2004. Kurang lebih dua
minggu setelah itu, Aldi dituntut hukuman 15 tahun penjara. Namun, karena pertimbangan
lain, pelaku divonis oleh Pengadilan Negeri (PN) Kendari 8 tahun penjara.
Sedangkan sang korban, Arni, yang disebut-sebut sudah
tewas terbunuh dan mayatnya ditemukan membusuk, kini sedang bekerja di Malaysia
sebagai TKW. Ia mengaku kaget mendengar kabar bahwa dirinya sudah meninggal.
Masih hidupnya Arni hingga kini juga diakui oleh ibu kandung Arni sendiri,
Kisna Jaya.
Dugaan
Lain
Sementara itu, setelah dilakukan penelusuran oleh wartawan
Kendari Pos, diduga mayat yang menjadi korban pembunuhan itu adalah wanita yang
bernama Ratni. Ia adalah keponakan sorang warga kota Kendari yang bernama
Lapanene. Lapanene yakin bahwa mayat itu adalah keponakannya, Ratni. Alasannya,
baju mayat perempuan tersebut mirip dengan baju dan celana yang dikenakan Ratni
saat pergi meninggalkan rumah.
Lapanene mengisahkan, pada awal Januari 2004 lalu Ratni
bersama calon suaminya, Makmur (yang juga anggota polisi), pergi meninggalkan
rumah dan sampai kini tak pernah kembali baik dalam bentuk jasadnya maupun
kabar beritanya. Lapanene dan keluarganya pernah melakukan pencarian dan melaporkan
hilangnya Ratni kepada pihak Polresta Kendari agar membantu mencari, namun
hingga kini belum jmuga ditemukan.
Lapanene mengaku pernah bertemu dengan Makmur dan
menanyakan tentang Ratni, tetap jawaban
yang didapatnya adalah: “Jika ada Ratni tolong kasih tahu, nanti saya kawini”.
Lapenene menyayangkan sikap Makmur sebagai calon suami Ratni yang saat itu
sedang mengandung tiga bulan karena tidak ikut mencari keberadaan Ratni,
apalagi Makmur adalah seorang polisi.
Kecurigaan Lapanene terhadap Makmur semakin tinggi setelah
mengetahui Makmur telah menikah dengan wanita lain yang bernamaErnawati yang pada
bulan Juni 2006 lalu ditemukan tewas di Kecamatan Poasia Kota Kendari. “Polisi
seharusnya bisa mengambil kesimpulan dengan dua kasus kematian wanita
tersebut”. Jelas Lapanene.
Terlepas dari kasus diatas, aparat hukum dituntut untuk
bersikap profesional mengingat mereka adalah penegak hukum yang menjadi panutan
masyarakat. Sangat disayangkan jika aparat hukum tidak dapat menjalankan
tugasnya dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah, prosedur, etika, maupun
tuntutan profesionalisme mereka. Lebih disayangkan lagi jika mereka menghukum
manusia tanpa melalui prosedur hukum yang jelas dan membiarkan pelaku
pembunuhan sesungguhnya berkeliaran dan menteror korban berikutnya.
aparat hukum yang menjadi penentu kehidupan hukum dan kemanusiaan masyarakat
Indonesia semakin menunjukkan kekacauan.
Betapa tidak, kasus pembunuhan yang terjadi di Kendari
Propinsi Sulawesi Tenggara yang membawa terdakwa Adis alias Adi bin Tuda
divonis hakim bersalah telah melakukan pembunuhan terhadap Arni (wanita),
ternyata tidak benar. Sang korban hingga saat ini ternyata masih hidup, sehat
wal afiat dan, tinggal di Malaysia sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Fakta ini membuktikan bahwa polisi bukan saja keliru
mengidentifikasi mayat yang ditemukan pada awal Januari 2004 itu dan menetapkan
tersangkanya, tetapi juga menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam bagi
Adis alias Adi bin Tuda yang “konon” dianaiaya agar dipaksa mengaku dan sudah
terlanjur menjalani hukuman penjara selama 2,7 tahun dari 8 tahun waktu yang
ditetapkan hakim.
Di samping itu, Aparat kejaksaan pun sebagai penyidik
ternyata hanya menjadi “yes man”
karena tetap melanjutkan proses persidangan itu dan memuluskan “gelar”
ketidakprofesionalan mereka. Tak ketinggalan, hakim di pengadilan pun turut
“membuktikan” dirinya sebagai “pengambil keputusan bagi manusia tak bersalah”
(dalam kasus ini).
Kasus itu sendiri berawal dari penemuan sesosok mayat
wanita di kawasan Asrama Haji, Lepo-lepo, Baruga, Kota Kendari pada hari sabtu
(10/1) 2004 sekitar pukul 15.00 Wita oleh warga setempat. Setelah dua hari
diselildiki, polisi menyimpulkan identitas mayat tersebut adalah Arni berusia
20 tahun, karyawan sebuah tempat hiburan malam. Selang beberapa hari kemudian,
pelakunya ditangkap yakni seorang pria bernama Adis alias Adi.
Kesimpulan tersebut diyakini oleh Kapolsekta pada saat itu
setelah diidentifikasi dan melalui penelusuran informasi dari berbagai pihak,
utamanya dari orang-orang yang melaporkan kehilangan keluarganya.
Berkas perkara dari kepolisian Polsekta Baruga dianggap
lengkap oleh Jaksa pada tanggal 16 Maret 2004 dengan nomor register 49 perkara
tahap dua (II) Penuntutan pidana umum (Pidum) tahun 2004. Kurang lebih dua
minggu setelah itu, Aldi dituntut hukuman 15 tahun penjara. Namun, karena pertimbangan
lain, pelaku divonis oleh Pengadilan Negeri (PN) Kendari 8 tahun penjara.
Sedangkan sang korban, Arni, yang disebut-sebut sudah
tewas terbunuh dan mayatnya ditemukan membusuk, kini sedang bekerja di Malaysia
sebagai TKW. Ia mengaku kaget mendengar kabar bahwa dirinya sudah meninggal.
Masih hidupnya Arni hingga kini juga diakui oleh ibu kandung Arni sendiri,
Kisna Jaya.
Dugaan
Lain
Sementara itu, setelah dilakukan penelusuran oleh wartawan
Kendari Pos, diduga mayat yang menjadi korban pembunuhan itu adalah wanita yang
bernama Ratni. Ia adalah keponakan sorang warga kota Kendari yang bernama
Lapanene. Lapanene yakin bahwa mayat itu adalah keponakannya, Ratni. Alasannya,
baju mayat perempuan tersebut mirip dengan baju dan celana yang dikenakan Ratni
saat pergi meninggalkan rumah.
Lapanene mengisahkan, pada awal Januari 2004 lalu Ratni
bersama calon suaminya, Makmur (yang juga anggota polisi), pergi meninggalkan
rumah dan sampai kini tak pernah kembali baik dalam bentuk jasadnya maupun
kabar beritanya. Lapanene dan keluarganya pernah melakukan pencarian dan melaporkan
hilangnya Ratni kepada pihak Polresta Kendari agar membantu mencari, namun
hingga kini belum jmuga ditemukan.
Lapanene mengaku pernah bertemu dengan Makmur dan
menanyakan tentang Ratni, tetap jawaban
yang didapatnya adalah: “Jika ada Ratni tolong kasih tahu, nanti saya kawini”.
Lapenene menyayangkan sikap Makmur sebagai calon suami Ratni yang saat itu
sedang mengandung tiga bulan karena tidak ikut mencari keberadaan Ratni,
apalagi Makmur adalah seorang polisi.
Kecurigaan Lapanene terhadap Makmur semakin tinggi setelah
mengetahui Makmur telah menikah dengan wanita lain yang bernamaErnawati yang pada
bulan Juni 2006 lalu ditemukan tewas di Kecamatan Poasia Kota Kendari. “Polisi
seharusnya bisa mengambil kesimpulan dengan dua kasus kematian wanita
tersebut”. Jelas Lapanene.
Terlepas dari kasus diatas, aparat hukum dituntut untuk
bersikap profesional mengingat mereka adalah penegak hukum yang menjadi panutan
masyarakat. Sangat disayangkan jika aparat hukum tidak dapat menjalankan
tugasnya dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah, prosedur, etika, maupun
tuntutan profesionalisme mereka. Lebih disayangkan lagi jika mereka menghukum
manusia tanpa melalui prosedur hukum yang jelas dan membiarkan pelaku
pembunuhan sesungguhnya berkeliaran dan menteror korban berikutnya.
(Disadur dari harian Kendari Pos Edisi senin, 23 Juli 2007)
0 komentar:
Posting Komentar